Terkadang, tanpa kita sadari, lawan membidik salah satu bidak terpenting milik kita di medan permainan.
***
Sepulang dari Naka, aku menginap di rumah. Karena rumah sakit tempat Naka dirawat dengan rumah Mami dan Papi hanya berjarak kurang lebih dua kilometer saja. Dan pulang ke kos membutuhkan waktu kurang lebih empat puluh lima menit, sementara mataku benar-benar sudah tidak bisa diajak kompromi.
Sesampainya di rumah, aku bunyikan klakson mobil. Tak lama Kang Dani datang membukakan gerbang.
Kuturunkan kaca mobil, “Sip! Matur nuwun!” sapaku pada Kang Dani sambil melewatinya menuju garasi.
“Kunaon eta mata?” Kenapa itu mata? Komentarnya pada mataku yang sudah menuju nol watt.
“Dari pagi banyak kerjaan, kesana-kesini Kang Dani, aku ngantuk banget! Baru pulang dari Naka juga.” kataku dengan nada setengah excited.
“Oh kitu. Kumaha Naka?” Oh gitu, gimana Naka?
“Naka udah baikan. Terus tadi, masa dia inget namaku, Kang Dani!”
“Oiya? Alhamdulillah atuh, mudah-mudahan bisa cepet pulang. Biar kita bisa maen Uno deui…”
“Iya, aaamiin...!”
“Itu mata meni kasian. Sok atuh istirahat dulu.” Katanya sambil menunjuk-nunjuk mata kalongku lalu menertawakannya.
Aku cemberut.
***
Keesokan harinya, sejak dari pagi sekali, Bibi Kokom dan Mami sudah sibuk di dapur membuatkan sarapan. Setiap aku pulang ke rumah, Mami selalu menyempatkan waktunya untuk membuatkan makanan kesukaanku. Aku sarapan bersama Mami dan Papi. Pemandangan yang tak biasa, tapi aku cukup senang hanya dengan melihat kami makan bersama. Biasanya Mami selalu makan lebih awal dan membiarkan aku berduaan saja bersama Papi. Dimana aku tidak begitu menikmatinya. Bicara berduaan dengan Papi itu seperti bermain survival game. Aku selalu gugup harus mengira-ngira hal apalagi yang akan Papi bicarakan. Karena tangisan selalu saja menjadi akhir dari pembicaraan itu. Beruntung kali ini ada Mami.
“Gimana skripsi?” Papi tak pernah punya pertanyaan yang lain.
“Yaa, masih dikerjain.”
“Bisa IP 4, semester sekarang?”
“Nggak tau...”
What IP 4? Are you kidding me, brow? Bisikku.
“Kok nggak tau?”
“Ya nggak tau kan Pi? Aku kan bukan paranormal.”
“Maksud Papi, kamu yang serius belajar. Jangan banyak keluyuran.”
“Emangnya aku kapan nggak serius belajar? Terus, aku juga nggak keluyuran..”
“Kalau mau kerja di tempat yang bagus, IPK harus bagus. Itu yang pertama kali diliat.”
“Aku udah kerja.”
“Cchh...” Papi tertawa terlihat menyepelekan.
“Kenapa emang?” tanyaku tak suka disepelekan.
“Ya maksudnya kerja di tempat yang bagus gitu.”
“Tempat kerjaku bagus kok.”
“Cari tempat kerja tuh yang bergengsi.”
“Emang kalo kerja di tempat yang bergengsi, aku pasti bahagia?”
“Kalo kamu dapet di tempat kerja yang bergengsi, udah pasti gaji juga tinggi. Kehidupan terjamin.”
“Maksud aku tadi, emangnya kalo aku kerja di tempat yang bergengsi, aku pasti bahagia?”
“Punya banyak uang, ya bahagia.”
“Kata siapa?”
“Ya tadi kata Papi.”
“Papi bahagia?”
Papi diam sejenak tak mau menatapku. Mami yang sejak tadi tidak masuk obrolan juga nampak kaget pada pertanyaan yang kutembakkan.
“Tau nggak Nik? Mami itu dulu waktu SD, juara satu terus.” Papi mencoba mengalihkan obrolan.
“Oya?” aku ikuti saja.
“Tapi hasil nyontek, hahahaha!” nampak puas sekali tawa Papi. Dan aku tak suka mendengarnya.
“Kan kita harus tau diri, kalau kita nggak bisa, ya kita cari teman yang bisa bantu kita.” Mami membela dirinya.
Aku mengangguk-angguk.
“Mami itu lemah matematika-nya, makanya logikanya kurang.”
Mami makan dengan lebih cepat dan wajahnya menunjukkan raut yang mulai tidak nyaman. Aku tak memberikan komentar.
Lalu bel rumah berbunyi. Bibi keluar dari dapur dan berjalan menuju pintu utama. Terdengar Bi Kokom membukakan pintu dan mengobrol dengan seseorang lalu kembali ke ruang makan.
“Pak, Bu, ada tamu. Katanya dari rumah sakit.”
“Oiya sebentar...” jawab Mami.
Aku yang sudah malas dengan Papi lalu mengikuti Mami.
“Oh Suster Sari, ada apa Sus? Ayo Mari masuk dulu…”
“Halo Suster Sari!” aku ikut menyapanya.
Suster Sari tersenyum, senyum yang dipaksakan dan terlihat kebingungan.
“Tidak apa-apa Bu, bicara disini saja.” wajahnya kusut.
“Ada apa suster?”
“Naka, Naka Bu…”
“Iya? Ada apa dengan Naka?”
“Naka, Naka, meninggal, Bu..”
Rasanya, seperti waktu menekan tombol pause. Aku tak percaya pada apa yang sedang aku dengar.
“Maksudnya?” tanya Mami lagi.
“Naka, bunuh diri Bu.”
Aku terpatung. Rasanya ada petir yang datang menyambar-nyambar. Langit-langit semuanya runtuh.
Mami masih bicara dengan suster Sari sementara aku berbalik berjalan ke atas kamar. Saat aku naik, aku lihat wajah-wajah Naka di dalam bingkai foto yang terpajang di sepanjang dinding menuju ke atas tangga. Aku mengusap setiap air mata yang jatuhnya sangat cepat.
Aku sungguh tidak dapat percaya.