Bidak Catur

Bimasakti
Chapter #21

21

Bila raja dalam posisi terkepung, tandanya permainan akan segera berakhir. Bila raja tidak lagi bisa menyerang, maka dia sudah tidak bisa melangkah. Selain menunggu lawan mengulur-ulur waktu untuk sekakmat, tak ada cara lain lagi untuk keluar. Kekalahan itu sudah berada di depan mata.

                                      ***

Sudah tujuh hari semenjak kepergian Naka, dengan susah payah, aku masih berusaha menerima semuanya. Saat kembali ke kos, aku memberitahu Maria mengenai Naka, dan selama itu pula Maria menginap di kos. Saat itu pula Maria mengatakan bahwa dia akan mengambil cuti dan kembali ke Jakarta. Hari ini adalah hari perpisahan aku dan Maria.

Datang sebuah chat dari Mami yang mengajakku bertemu di pemakaman siang ini. Mami akan menjemputku ke kos.

Di parkiran, saat Maria hendak pulang, Mami sudah tiba terlebih dahulu.

“Apa kabar Maria? Udah lama ya kita nggak ketemu…”

“Iya Tante, turut berduka.”

“Iya, terima kasih Maria. Niki, nanti kita beli bunga dulu ya.”

“Iya Mi.”

“Tante, aku pamit ya…” sebelum pergi Maria memelukku lalu pergi melambaikan tangannya.

“Iya hati-hati ya Maria...” Mami ikut melambaikan tangan.

Maria pun menghilang dari penglihatan.

“Kamu udah makan siang belum?”

“Belum, nanti aku beli cemilan aja di minimarket.”

“Udah makan aja dulu, nanti pusing. Di pemakaman nanti panas banget, Nik.”

“Nggak kok, di minimarket aku beli onigiri aja.”

“Apa tuh?”

“Itu lho, nasi kepal, yang ala-ala Jepang gitu Mi.”

“Emangnya ada di minimarket?”

“Ada, aku kan sering beli.”

“Tadi pagi udah sarapan?”

Begitulah seorang Mami, Mami selalu memastikan apakah aku sudah makan atau belum. Mami tidak akan pernah membiarkanku kelaparan. Mungkin ia pernah abai pada perannya sebagai seorang Ibu sewaktu aku kecil, aku remaja. Tapi sejak kepergian Naka, Mami sekarang mulai berubah.

“Btw, nanti aku nginep di rumah Mi...”

“Ok, nanti sebelum pulang kita belanja dulu ya.”

Selesai membeli bunga, kami langsung bergegas menuju tempat Naka dimakamkan. Mami meletakkan bunga-bunga itu dengan rapih dan cantik. Lalu kami masing-masing membaca Al-Fatihah. Lalu kutundukkan kepala, kupejamkan mata dan mulai berbicara dari dalam hati.


Naka, aku tidak tahu kamu dengar atau tidak…

Tapi kalau kamu dengar…

Naka, mudah-mudahan kamu tidak lagi merasakan rasa sakit. Mudah-mudahan kamu sekarang berada di tempat yang nyaman untuk tinggal.

Kalau tidak, Bang Fikri bilang, setiap doa yang dikirim untuk kamu, akan meringankan semua yang berat yang sedang kamu hadapi. Aku harap doaku, doa Mami, juga doa orang-orang yang peduli sama kamu, akan membuat semuanya lebih baik, lebih ringan.

Naka, sampai ketemu lagi…


 Setelah keluar dari area pemakaman, Mami mengajakku berbelanja.

“Ke mal, yuk!”

“Yuk!” jawabku senang.

Mami mengajakku masuk ke toko baju, toko sepatu, toko tas, toko parfum sampai ke tempat main game.

Dari instingku sebagai mahasiswa psikologi, Mami sedang berusaha melupakan kesedihanya dengan melakukan hal yang disukainya, shopping.

Dan tiba-tiba saja Mami juga mengajakku bermain game arcade. Tentu ini adalah sisi lain dari diri Mami yang baru kuketahui. Aku pun senang, ketimbang melarikan diri kepada rokok sepertiku dulu: salah satu hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Beruntung aku sakit dan takut mati setelah mencobanya, karena kalau tidak, mungkin sampai saat ini aku masih merokok. Kapok!

“Nik, main yang itu yuk” Mami mengajakku bermain pukul-pukul kepala kodok.

Aku terpingkal-pingkal melihat tingkah Mami seperti anak kecil yang baru pertama kali diberi permen lolipop.

“Mi, udah yuk kita pulang…”

“Bentar lagi, Nik, sayang ini masih ada saldonya. Kamu udahan mainnya?” Mami masih sibuk mencoba segala macam permainan-permainan arcade di dalam.

“Udah ah, kakiku pegel, aku duduk dulu ya.”

“Iya-iya.” Mami tetap fokus pada permainannya.

Selesai bermain, kami menukarkan poin dengan hadiah. Tak banyak, hanya cukup ditukarkan dengan dua botol teh manis. Meskipum begitu, aku dan Mami tak behenti tertawa menyadari apa yang baru saja kami berdua lakukan.

Sebelum pulang, Mami mengajakku makan malam sate padang. Sate padang tempat langganan kami sekeluarga yang letaknya di tengah alun-alun kota. Tempatnya kecil menggunakan gerobak tapi rasa satenya sangatlah juara.

Selesai berhasil mendapatkan parkir, kami masuk kedalam.

“Udah lama Bu nggak kesini, mana Bapak sama si Kakak?” kata Bapak pemilik sate.

“Hehehe, iya nih, kita lagi berdua aja sekarang.” tentu, ada raut sedih di wajah Mami kala menjawabnya.

Aku pun hanya tersenyum kecil saja.

“Pake keripik balado nggak, Nik?” tanya Mami.

“Iya mau-mau.” Sebelumnya Mami tidak pernah perhatian seperti itu. Karena justru hal-hal kecil dan sederhana seperti itulah yang membuatku bahagia.

Mami membukakan satu bungkus kecil keripik balado dan menumpahkan semua isinya ke atas sate-ku.

Hari ini betul-betul hari yang langka. Hari pertama aku bisa berduaan saja dengan Mami. Dan sangat menyenangkan bisa melihat Mami dalam kurun waktu yang lama. Biasanya Mami hanya mengobrol saat kami makan di rumah. Itu pun sebentar saja.

Selesai makan, Mami membawa pulang empat bungkus sate, untuk Bibi Kokom dan kawan-kawan.

***

Sampai di rumah, mobil Papi terlihat sudah kembali ke garasi, tandanya Papi ada di rumah.

“Nik, kasihin ini ke Kang Dani ya.” Mami memberikanku satu plastik sate yang tadi.

“Kang Daniii!”

Setelah menutup gerbang, Kang Dani berlari-lari kecil.

“Ini buat makan malem.”

“Oh iya makasih Neng, nuhun Bu.”

“Bapak ada di rumah?” tanya Mami.

“Ada Bu.”

Lalu Mami memandangku dan aku pun balas memandang Mami. Kami seperti sedang bertelepati, supaya malam ini bisa terlewati dengan mudah.

Di dalam rumah, ternyata Papi sedang duduk di ruang makan, makan malam seorang diri. Karena aku dan Mami masuk dari pintu belakang, menuju kamar haruslah melewati ruang makan terlebih dahulu, maka Papi secara langsung dapat melihat kami berdua yang baru saja datang.

“Dari mana?” tanyanya entah kepadaku atau kepada Mami.

Lihat selengkapnya