Bidak Catur

Bimasakti
Chapter #22

22

 Hidup adalam permainan. Permainan penuh dengan tekanan. Bagaimana kita dapat bertahan di dalamnya bergantung dari seberapa kuat kita menghadapi tekanan.

                                      ***

Bandung, 2009

Suasana di rumah sedang tidak nyaman. Naka dan Papi baru saja bersitegang. Seperti biasanya, Papi selalu menuntut yang terbak perihal akademik. Padahal Naka adalah mahasiswa berprestasi. Aku pun meski bukan siswi top dan tidak jenius seperti Naka, tapi aku juga punya segudang prestasi di bidang yang aku sukai.

Begitu pula yang terjadi tadi malam. Naka yang sudah berada di tingkat akhir sedang skripsi, dan Papi bertanya tentang skripsinya. Dan semuanya selalu berujung pada ketidak-terimaan Papi pada setiap usaha Naka. Aneh. Entah di bagian mana yang membuat Papi tidak puas. Aku tahu karena sejak kecil Papi selalu memperlakukan Aku dan Naka seperti itu. Entah apa yang dikatakan Papi, tapi pagi ini Naka tidak ikut sarapan bersama kami. Aku pun diam saja.

Mami pun sama, tidak pernah ikut makan bersama di ruang makan. Mami selalu jadi orang yang pertama sarapan. Sejak kecil aku tak mengerti mengapa Mami tidak pernah mau ikut mengobrol bersama-sama di meja makan ini. Ya, aku baru tahu alasannya sekarang. Setelah mulai paham tindak-tanduk Papi yang tidak beres.

“Kamu kapan pindah kos?” tanya Papi.

“Belum dapet tempatnya.”

“Cari yang deket kampus aja, biar gampang akses kuliahnya.”

“Iya, emang cari deket kampus kok…”

“Kalau udah kuliah harus belajar yang bener, fokus, serius.”

Aku tak mengomentarinya. Meski aku akan dapat selalu menebak topik pembicaraan yang akan diangkat oleh Papi, tapi aku tak pernah siap pada komentarnya. Tentang nada datar dengan pilihan kata yang menusuk-nusuk. Mengobrol dengan Papi selalu berakhir menyakitkan.

                                               ***

Setelah selesai sarapan, aku kembali ke kamar. Lalu Naka mengetuk pintu dan langsung masuk ke kamarku.

“Kenapa?” tanyaku.

“Aku sekalian mau pulang ke Jakarta. Ayo, bareng sama aku aja cari kos-nya.”

“Pulang ke Jakarta gimana sih? Jakarta itu tempat kos. Pulang itu ke rumah, kesini. Harusnya kalimatnya, ‘aku mau pergi ke Jakarta’, gitu…”

“Yaaa, itulah. Ayo cepet! Mau bareng nggak?”

“Emang sekarang banget?”

“Ya sekarang lah. Kalo siang, nanti aku sampai Jakarta jam berapa coba?”

“Oh, yaudah tungguin aku ganti baju dulu.”

“Pake motor aja ya, biar cepet nyarinya.”

“Iya-iyaaa.”

Setelah bersiap, aku dan Naka turun ke bawah. Ada Papi yang sedang menonton tv.

“Mau kemana?” tanyanya datar.

“Kan mau cari kos.” jawabku.

“Naka mau kemana?”

“Nemenin aku.” jawabku lagi.

“Emang kamu nggak bisa cari sendiri?”

“Aku yang ngajak, Pi.” Naka bersuara.

“Biarin aja Niki cari sendiri. Biar mandiri dia, belajar urus hidup sendiri, jangan setiap ada apa-apa dibantuin terus.”

Lihat selengkapnya