Bidak Catur

Bimasakti
Chapter #23

23

Ketika satu-persatu bidak catur mati dan kekalahan sepertinya mulai mendekat. Mental seorang pemenang tak akan menyerah pada keadaan. Karena dia tahu akan selalu ada harapan bahkan di dalam keadaan terburuk pun.

***

“Jadi, kita mau kemana nih?” tanya Fikri.

“Kemana ya?”

“Mau cari makan enak atau cari suasana enak?”

“Mmm…”

“Soalnya kalau makanannya enak belum tentu suasananya enak. Kalau suasananya enak, belum tentu makanannya enak…”

“Nggak ada yang makanan sama suasananya enak ya?”

“Mmm… perempuan itu memang sulit ya, pilihannya apaa, jawabannya apa.”

“Hahahaha… tapi kan bener. Memangnya nggak ada?”

“Nik, please pilih aja, mau cari suasana atau cari makan enak? Kalau nggak pilih, nanti aku kasih pe-er lagi nih…”

“Hahaha… hmm, apa ya... cari suasana deh.”

“Ok. Aku pilihin ya, nanti sampai sana dilarang protes.”

Aku hanya menganggapinya dengan senyuman, “Jadi mau kemana?”

“Liat aja nanti, tau-tau sampai.”

“Hmm… kayaknya pengalaman nih.“

“Pengalaman apa?”

“Yaaa, pengalaman begitu deh.”

“Maksudnya apa sih?”

“Udah nggak jadi. Ditarik lagi. Nggak penting…”

“Laah… maksudnya pengalaman apa sih? Punya hubungan sama perempuan? Nggak, aku belum pernah punya hubungan spesial, khusus, atau apalah namanya.”

“Oya?” aku tak yakin.

“Yaaa, kalau nggak percaya, boleh tanya Bunda…”

“Satu kalipun?”

“Nggak pernah. Yaa, kalau deket-deket gitu mungkin ada, tapi kalau sampai serius belum.”

“Sama aja bohong.”

“Bohong kenapa?”

“Ya berarti pernah punya hubungan, tapi nggak ada yang long-lasting, gitu ya, kan?”

“Nggak. Beneran. Cuma dekat kayak teman aja. Kalaupun sempat suka tapi ya akhirnya pilih jadi teman aja.”

“Oya?”

“Memang mukaku muka-muka pembohong ya?”

“Hahaha, ya bukan gitu. Aneh aja…”

“Ya nggak anehlah… eh kita nyampe nih.” Fikri langsung memparkirkan mobilnya di sebuah cafe yang terlihat cukup elegan dan modern.

“Ok…”

Setelah masuk, Fikri memilihkan tempat duduk bersofa. Seorang pelayan datang memberikan menu. Isi menunya bergaya Eropa mix makanan tradisional lokal.

“Aku pilihkan yang recommended disini mau?”

“Boleh…”

“Minumnya mau apa?”

“Mmm… Lemon tea deh…”

“Ice?”

“Iya…” aku manggut-manggut.

Aku melihat-lihat ruangan café ini, suasananya sangat homey. Setelah kuperhatikan lagi, ternyata café ini tadinya memang sebuah bangunan rumah yang dijadikan café. Ada lukisan-lukisan abstrak di setiap sisi dinding.

“Ini tempat aku nongkrong, biasanya rame sih, sekarang lagi sepi aja.”

"Oh, sama siapa?" godaku lagi.

Fikri menatapku sambil tersenyum.

"Sama teman, kadang sama tim."

"Tim?"

"Iya, tim tempatku kerja."

"Ohh...."

"Memang harusnya sama siapa?"

"Hmm? Nggak..." Aku mengernyitkan dahi dan menggaruk-garuk alis mata dengan sedikit salah tingkah.

Pesanan kami pun tiba. Fikri memilihkan dua macam makanan ringan, sepiring kecil bitterbalen dan churros yang disajikan dengan dip coklat.

Lihat selengkapnya