Bidak Catur

Bimasakti
Chapter #24

24

Ketika sebuah pion dimakan oleh lawan, itu tidak selalu berarti sebuah kehilangan. Adakalanya itu menjadi sebuah kesempatan untuk melihat kemenangan dengan lebih jelas.

Dalam suka maupun duka, hidup adalah tentang memilih. Dan kebahagiaan adalah salah satu pilihannya.

***

Aku tiba di kos jam satu malam. Badanku begitu lelah tapi pikiranku tidak. Diskusi dengan Bang Fikri membuatku banyak berpikir.

Sebelum pergi tidur, aku mengambil wudhu. Iya, aku berwudhu. Sudah kuniatkan sejak tadi untuk melakukan solat tahajud. Entah kenapa, seperti Bang Fikri bilang, aku memang sedang membutuhkan seseorang atau sesuatu untuk bersandar juga sebagai tempat meminta tolong.

Sebelum beranjak pulang, Bang Fikri memberikanku sebuah AlQuran dari dalam tasnya. Dia bilang kepadaku bahwa Quran itu adalah Quran yang sering ia baca setiap dia selesai solat. Saat dia memberikan Quran miliknya itu kepadaku, aku merasakan sesuatu antara aku dan dia. Entahlah…

Aku berjalan ke lemari baju, aku buka laci tempat mukena yang masih terbungkus rapih. Aku ambil mukena itu dan memakainya. Aku melakukan solat tahajud. Di tiap-tiap sujud, aku berbicara kepadaNya. Di setiap sujud, aku menangis. Di setiap sujud, aku merasa kecil, lemah dan tak berdaya.

Selesai solat, aku kembali berdoa dan juga berbicara, bercerita lagi kepadaNya. Aku tumpahkan semua keluh dan kesah hingga mukenaku basah dengan air mata dan air ingus yang tidak tahan akan gaya gravitasi.

Aku berdoa, meminta ketenangan. Aku berdoa, meminta Mami dan Papi dapat saling mencintai, saling menyayangi. Aku berdoa, Naka berada di tempat yang nyaman. Aku berdoa dan bersyukur akan Bang Fikri.

Setelah itu aku membuka AlQuran milik Bang Fikri. Alquran itu memiliki terjemahan di dalamnya. Sebenarnya aku punya sebuah AlQuran yang dibelikan oleh Mami satu set dengan sepasang mukena. Tapi Quran itu hanya teronggok di rak buku, sudah sangat berdebu. Aku tak ingat pernah menyentuhnya.

Aku tidak bisa mengaji. Terakhir aku mengaji adalah saat masih SD, dan itu pun baru sampai iqra empat.

Aku buka lembar pertama. Surat Al-Fatihah, disebutkan artinya adalah Pembukaan. Kubaca dari ayat pertama. Kemudian di ayat kelima, aku berhenti. Tertulis disitu, hanya kepadaMulah kami menyembah, dan hanya kepadaMulah kami meminta pertolongan. Entahlah, ada sesuatu pada kalimat itu yang membuat hatiku bergetar. Betapa aku yang percaya pada seorang Tuhan, tapi aku sendiri tidak mengenalNya dengan baik. Tengah malam, seorang diri, aku menangis. Aku sendiri tak begitu paham apa yang sedang kutangisi. Yang pasti saat aku membacanya, aku hanya bisa menangis. Aku hanya ingin menangis.

“Dia sedang menunggu kedatanganmu kepadaNya, Niki.” entahlah sepertinya ada sesuatu dari diriku yang lain tengah membisikkan kalimat ini kepada hatiku yang keras seperti baja.

                                      ***

Aku terbangun pada panggilan dari hp.

“Bang Fikri?” aku lihat jam dinding, pukul lima pagi.

“Iya Bang?” suaraku masih serak bangun tidur.

“Assalamu’alaikum, Niki, selamat subuh ya…”

“Hmm?” nyawaku belum terkumpul betul.

“Sudah jam lima. Selamat solat subuh ya..”

“Oh, iya Bang. Makasih…”

“Ok. Bye… Assalamu’alaikum…”

Telepon itu berhenti. Pikiranku masih linglung. Aku bingung. Aku bangun dan melihat diriku sendiri yang masih terbalut mukena dengan sebuah Quran yang tergeletak di dekat kepalaku.

“Ah, aku ketiduran…” aku lepas mukena itu dan beranjak ke kamar mandi.

Setelah berwudhu, aku melakukan solat subuh. Setelah selesai dan kembali berdoa, aku naik ke atas kasur. Aku berniat melanjutkan membaca Quran terjemahan, tapi belum sempat kubaca, sedikit-sedikit mataku tertutup.

                                      ***

Ku terbangun lagi pukul delapan. Aku pegang badanku yang masih memakai mukena. Lalu aku membuka dan melipatnya. Menyimpannya baik-baik di dalam lemari. Aku simpan Quran Bang Fikri di dalam rak buku bersanding dengan Quran milikku.

Aku ambil hp. Sejak hari pertama aku keluar rumah, Mami meneleponku siang dan malam. Tapi aku malas mengangkatnya. Lalu kulihat ada sebuah pesan dari Papi.


           Dari Papi:

           Niki, maafin Papi. Papi nggak bermaksud seperti itu.        


Pesan yang sangat singkat dari seorang ayah yang sebelumnya telah memperlihatkan kekesalannya dan menyetujui permintaan anaknya untuk keluar dari rumahnya. Ada air mata yang tertahan di mataku. Cukup. Aku tak ingin menangis lagi. Sudah cukup.

Betapa meminta maaf begitu mudah bagi Papi. Yang aku butuhkan bukanlah permintaan maaf. Yang aku butuhkan adalah sosok seorang ayah. Ayah yang nyata, bukan sebutan saja.

Ah, pagi-pagi begini aku sudah emosi.

Lalu aku teringat apa yang dikatakan Bang Fikri kemarin, “ingat aturan tiga hari ya Niki. Hari ini, kamu ceritakan sama Allah, apa yang mengganggu pikiran kamu, minta ketenangan, minta pertolongan. Hari kedua, kamu pergi tidur dan kamu bangun lagi, mungkin apa yang mengganggu itu akan sedikit berkurang di hari ini. Nanti sebelum tidur, kamu berkeluh-kesah lagi kepada Tuhan. Dan di hari ketiga, saat kamu bangun, pasti yang kamu keluhkan sebelumnya akan jauh lebih berkurang lagi. Aku tidak bisa pastikan masalah kamu hilang, tapi kamu perlahan akan bisa mulai menerima atau bahkan melupakan. Kamu harus bisa bertahan selama tiga hari ini untuk tidak membiarkan energi negatif menguasai kamu. Setelah tiga hari, betapa pun buruknya situasi yang kamu rasakan, yakin saja semuanya akan baik-baik saja. Dan pasti akan baik-baik saja.“

“Yoshh! Aku akan mencoba aturan tiga hari Bang Fikri. Aku pasti bisa!”


Dari Bang Fikri:

Pagi, Niki... Hari ini ke pengadilan?


Aku tersenyum. Melihat chat dari Bang Fikri membuatku lupa tentang semuanya. Apakah laki-laki ini memang sengaja datang dikirimkan Allah untukku?

Teringat lagi skripsi yang terabaikan. Ah, aku harus segera memulai. Iya, aku pikir ini memang sudah saatnya aku kembali ke pengadilan. Aku harus fokus pada apa yang harus kukerjakan. Sudah cukup waktu untuk meratapi diri. Saatnya bergerak maju.

                                      ***

Setibanya di dalam ruangan Bu Maryam, Dila yang tengah duduk bekerja menghampiriku.

“Turut berduka ya Niki.” lalu ia memelukku.

“Makasih, Dila. Bu Maryam belum datang?”

“Oh, tadi udah datang. Tapi hari ini beliau kan ada jadwal di rumah sakit.”

“Oh… yayaya. Aku chat aja deh, soalnya belum ngasih tau hari ini mulai masuk.”


Kepada Bu Maryam:

Assalamu’alaikum Bu, hari ini aku masuk. Ada yang bisa aku kerjakan?

Dari Bu Maryam:

Wa’alaikum salam. Alhamdulillah Niki, are you okay?

Kepada Bu Maryam:

Lihat selengkapnya