Kita hanya bisa mengendalikan bidan catur milik kita sendiri. Kita tidak akan pernah bisa mengendalikan bidak lawan.
***
Satu bulan telah berlalu. Hubunganku dengan Bang Fikri seperti double-tape, saling merekat. Skripsiku sudah lima puluh persen, mungkin lebih. The power of love, maybe? Ah, berbicara tentang cinta membuat hatiku cringe. Aku tak pernah menyangka akan jatuh cinta sejatuh-jatuhnya seperti ini.
Mami membujukku kembali ke rumah dan mengobrol dengan Papi. Awalnya aku tak mau, tapi Papi kemudian yang mengajakku berbicara. Tak ada kata maaf yang terucap seperti di dalam chat-nya waktu itu. Yang Papi bicarakan justru tentang Mami, katanya Mami adalah istri yang tidak lemah lembut. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalahku dengannya. Tak tahulah! Aku benar-benar tidak paham tentang bagaimana cara Papi berpikir.
***
Awan yang terbentang luas di atas langit tertiup angin lalu bergerak bergumpal-gumpal. Kemudian hujan turun dari celah-celahnya. Mendung menyelimuti pagi. Udara dingin merasuki rumah.
Setelah subuh, aku melanjutkan skripsi. Waku subuh memang paling ampuh dalam mengerjakan sesuatu. Bang Fikri pernah bercerita, karena otak manusia di waktu-waktu subuh masih fresh, belum banyak melakukan kegiatan berat sehingga pikiran bisa fokus.
Hari ini aku tidak magang, weekend. Menjelang siang, Mami menyuruhku membantu Bibi dan Teh Nani membereskan kamar Naka. Dan saat aku buka laci lemari pakaiannya, kutemukan dua buah jurnal buku. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku masih tidur bersamanya di kamar ini.
Naka, sejak kecil adalah seorang siswa yang berprestasi, dia juga mengikuti beberapa komunitas, salah satunya komunitas robot dan sering menang berbagai kompetisi. Namun saat kuliah prestasinya menurun. Tidak hanya menurun, dia bahkan hanya mengurung dirinya di dalam kamar.
Saat kubaca tulisan tangannya di kedua jurnal itu… mungkin aku sedikit-sedikit mulai paham apa yang terjadi padanya.
I am a complete failure
I am not good enough
I am unworthy
I don’t deserve to be loved
Hatiku berdegup kala membaca tulisan Naka. Aku tak pernah menyangka, karena saat aku melihat Naka, dia adalah sosok kakak yang sempurna di segala aspek kehidupannya, tapi dia sendiri justru melihat dirinya sebaliknya.
Tapi, tentunya kini aku mengerti alasannya. Aku paham betul. Karena aku pun merasakan hal yang sama. Perbedaannya adalah, Naka tidak punya tempat untuk bercerita. Entah, mungkin karena Naka selalu merasa dia bisa menghadapinya sendiri.
Kak, padahal kamu punya aku, kamu bisa cerita sama aku…
Teringat olehku perkataan dosen di salah satu mata kuliah, “kalau orang bilang kamu nggak bisa apa-apa. Itu hak mereka untuk bilang apapun. Tapi ingat, yang membuat kamu down, sedih, jatuh, bukanlah perkataan orang lain. Melainkan karena kamu SETUJU, atas pandangan orang itu terhadap diri kamu sendiri.”
“Kamu harus kenal betul siapa diri kamu. Kalau kamu sudah kenal, apa yang orang lain ucapkan, tidak akan mengubah apapun. Pujian dan cacian dari orang tidak akan berarti apa-apa. Tapi pujian dan cacian dari kamu kepada diri kamu sendirilah yang berbahaya.”
Hampir sama seperti apa yang pernah Fikri katakan padaku.
Aku lanjutkan kembali membaca jurnal Naka.
You are broken
You are burden
You are lazy
Aku rasa itu semua bukanlah tulisan Naka, melainkan perkataan Papi yang disetujui oleh pikiran Naka. Karena bagaimana mungkin? Naka adalah orang yang pintar dan punya segudang prestasi. Bagaimana mungkin dia merasa dirinya seperti itu?
Niki, maafin kakak. Kakak mungkin nggak akan lagi bisa jadi bodyguard kamu. Aku yakin kamu baik-baik aja, akan selalu baik-baik aja. Kamu adikku yang kuat.
Aku mulai menangis, aku tak berharap Naka akan menyebut namaku dalam jurnalnya.
Naka, andai aku tahu kamu merasakan semua itu. Naka, andai kamu cerita sama aku…
“Neng kayaknya ada suara telepon deh dari kamar Neng”
“Oya? Sebentar ya Bi aku liau dulu.”
Aku cek ke dalam kamarku dan benar saja, Bang Fikri miscalled.