Life is in color, but black and white is more realistic.
- Samuel Fuller
***
Bulan demi bulan berlalu. Tak terasa, hari ini sudah November. Untung saja dekat-dekat ini ada jadwal wisuda. Aku coba mengejarnya.
Hari ini juga jadwal bimbingan skripsi bab terakhir. Akhirnya… perjuangan dan pengorbananku, keringat, darah dan air mata yang harus kukeluarkan selama beberapa bulan ini terbayarkan juga. Bila tidak ada revisi, maka aku hanya akan menunggu jadwal sidang. Finally, aku bisa bernafas dengan tenang.
Lalu aku mulai membayangkan proses sidang nanti. Situasi di dalam ruangan sidang yang sangat mengintimidasi. Melihat mata dosen-dosen yang siap membunuhku. Semuanya terbayang sekelibat olehku begitu saja. Aaaargghh! Memikirkannya saja membuatku stres. Ingin sekali semuanya bisa secepat membuat mie instan, aku hanya ingin semua ini selesai secepat mungkin.
Hpku bergetar.
Dari Bang Fikri:
Nik, sabtu ini temenin aku kondangan, yuk?
Hmm… setelah kupikir-pikir lagi, selama ini Fikri belum pernah menyatakan perasaannya kepadaku. Sementara hubunganku dengannya seperti sudah memiliki status. Sepertinya. Lalu mengapa sampai ke detik ini dia belum mengatakan apapun? Apakah dia adalah tipe laki-laki yang senang untukku sebagai pihak perempuan yang menyatakannya terlebih dahulu?
Tunggu dulu, bagaimana bila selama ini ternyata aku hanya ke-geer-an? Bagaimana bila ternyata dia memang tidak memiliki perasaan seperti yang kukira selama ini? Bagaimana kalau ternyata dia hanya memperlakukanku sebagai sebatas teman saja?
Pikiranku kusut dalam sekejap mata.
Haruskah aku pergi dengannya ke undangan itu tanpa status yang jelas? Haruskan aku menanyakannya tentang hubungan ini? Bagaimana kalau memang benar dia menganggapku sebagai teman biasa saja? Atau dia menyukai sebuah hubungan semacam teman tapi mesra?
Pikiranku mulai liar, pergi kesana dan kemari. Sambil membungkukkan badan ke depan, aku terduduk lemas di pinggir kasur.
Ahh, akhir-akhir ini Maria pun jarang sekali memberikan kabar. Rasanya ingin kuceritakan masalah hatiku ini kepadanya. Apa yang terjadi dengan Maria di bagian bumi Jakarta sebelah sana? Mengapa akhir-akhir ini dia tidak pernah telepon bahkan sebuah chat pun tak pernah datang?
Dari Bang Fikri:
Belum bangun, Nik? Habis begadang ya? Hari ini bimbingan terakhir 'kan?
Tapi, bukankah bila dia bertanya seperti itu, tandanya dia memang tertarik denganku? Bukankah bila dia adalah orang pertama yang selalu mengirimkan chat kepadaku, tandanya dia memang tertarik kepadaku? Bukankah, setiap perhatiannya selama ini adalah bukti dari ketertarikannya kepadaku?
Tapi bagaimana kalau tidak? Bagaimana bila semua ini hanya sebuah bentuk cinta bertepuk sebelah tangan? Akankah aku akan hancur seperti saat Maria putus dengan Jojo? Akankah sesakit itu? Tak mau makan? Tak mau melakukan apa-apa?
Mengapa pagi ini sudah padat sekali isi pikiranku?
Dari Bu Maryam:
Assalamu’alaikum Nik. Mendadak pasien saya ubah jadwal. Jadi bimbingannya besok pagi saja ya. Nanti laporannya di print, simpan di meja saya ya. Saya cek inshaAllah malam ini. Mudah-mudahan nggak ada revisi biar langsung sidang. Sorry ya. See you…
Setelah membaca chat Bu Maryam, badan kumiringkan hingga terjatuh ke atas kasur. Rasanya ingin kembali tidur.
Dari Bang Fikri:
Aku ke kos kamu ya… Tadi aku nanya Bunda, katanya nggak jadi bimbingan kan ya hari ini?
Lihat, kan? Betapa cepat dia mengetahui situasiku saat ini. Dia pasti merasakan apa yang kurasakan. Tak mungkin hanya aku seorang saja yang menyadari hal ini. Aku yakin.
Kepada Bang Fikri:
Banyak ya, pertanyaannya.
Tak lama dia menelepon.
“Nik, udah siap-siap?
"Udah, tadinya kan mau bimbingan itu."
"Keluar yuk!"
"Masih pagi gini kita mau kemana, Bang?”
“Aku pikir soalnya tadi kamu masih leyeh-leyeh. Main yuk!”
“Hahahaha… Kayak apaan aja sih. Kayak ini tau nggak, anak kecil yang lagi ajak temennya main, Ni~ki~ ma~in yuuu~k.”
“Hahaha! Iya emang, aku kan temen kamu.”
Aku sedikit terhenyak. Teman? Aku adalah temannya?
“Nik? Gimana? Aku jemput ke kos kamu ya?”
“Hmm? Gimana ya, aku lagi males pergi-pergi sih sebenernya.” Mood-ku berubah secara drastis. Kata 'teman' yang terlontar tadi sungguh mengusik hatiku. Membuatku sedikit malas pergi dengannya.