Diamku adalah sebuah kata yang menyiratkan luka yang tak bisa kuceritakan.
***
Besok pagi adalah hari dimana sidang skripsiku akan dilangsungkan. Fikri dengan sukarela mengantarku, awalnya aku menolak tapi dia tetap keras kepala. Aku bisa apa.
Meski hubunganku dengan Fikri sampai saat ini tak ada kejelasan, tapi anehnya aku menikmatinya. Pertama, karena aku yakin dia merasakan hal yang sama. Kedua, aku percaya akan takdir. Bila aku memang berjodoh dengannya, tentu aku akan bersamanya. Bila tidak, tentu aku akan patah hati. Mungkin juga hancur berkeping-keping. Menangis selama satu bulan dan akan kembali meraba-raba hidup.
Setelah semakin dekat dengannya, setiap hari rasanya aku selalu excited karena memiliki seseorang sebagai tempatku bercerita tanpa perlu khawatir ini dan itu. Meski kadang dia membuatku kesal, dengan mudah dia dapat menggenggamku kembali.
Sebelum tidur dan setelah chat dengan Fikri, aku chat Maria. Tapi lagi-lagi tak ada balasan. Setelah selesai sidang, aku sudah berniat pergi ke Jakarta menemuinya. Aku sudah lama tak mendapat kabar dan aku sungguh khawatir tentangnya akhir-akhir ini. Karena biasanya dia adalah orang pertama yang bertanya tentangku.
***
Sebelum Subuh, Bang Fikri sudah beberapa kali miscalled. Lalu mengirimkan chat, selamat berdoa yang banyak ya, inshaAllah sidang kamu lancar kayak jalan tol. Btw, tebak-tebakan ya, kalau aku nyanyi wonderwall terus kamu suruh aku berhenti, kira-kira aku bakal jawab apa?
Baru saja aku membuka mata, dia sudah menyunggingkan senyum kepada kedua bibirku.
Aku ambil wudhu dan solat tahajud. Ini adalah solat tahajud ketiga yang pernah kulakukan selama hidupku di dunia. Aku hanya ingin meminta tolong kepadaNya tentang banyak hal. Tidak saja tentang sidang. Tapi juga tentang Mami dan Papi, tentang Fikri, juga tentang Maria, dan terakhir tentang Naka.
Setelah selesai berdoa, aku pun mengirimkan al-Fatihah untuk Naka. Lalu mengambil hp untuk menjawab chat Fikri.
Kepada Bang Fikri:
Makasih Bang. Alhamdulillah lebih tenang nih, habis solat. Tebak-tebakannya pasti garing.
Dalam hitungan detik, Fikri langsung membalas.
Dari Bang Fikri:
MashaAllah, Alhamdulillah.
Kalau aku nyanyi wonderwall terus kamu suruh aku berhenti, aku bakal jawab, “I said maybe”. Hahahaha…
Aku hanya bisa tersenyum geli. Membayangkan dia tertawa pada leluconnya sendiri. Aku jatuh cinta pada orang aneh.
Setelah melipat mukena, aku memulai kegiatan subuh ini dari membereskan tempat tidur. Membersihkan kamar dan mencuci sebuah piring dan gelas. Lalu membuka laptop, menyiapkan presentasi. Aku baca berulang-ulang apa yang akan kusampaikan nanti dan mencoba menyempurnakan setiap kurasakan ada kekurangan di dalamnya.
Satu jam, dua jam dan tiga jam berlalu. Kulihat angka 06:10 AM di laptop. Datang sebuah chat dari Mami. Mami dan Papi belum kuberi tahu tentang sidang hari ini. Sengaja. Karena aku tak ingin mereka berdua datang.
Dari Mami:
Nik, hari ini Mami dan Papi ada jadwal persidangan. Mami sudah putuskan untuk bercerai. Mami sudah nggak bisa sama Papi, Nik.
Seperti datang sebuah bom atom jatuh tepat di atas kamarku dan memorak-porandakan semuanya. Datangnya begitu tiba-tiba tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu supaya aku bisa mempersiapkan untuk menyelamatkan diri.
Aku bersandar ke belakang kursi.
Ya Rabb, Ya Allah, baru saja aku datang kepadaMu. Berdoa kepadaMu. Meminta pertolonganMu. Apa yang Engkau berikan kepadaku hari ini bukanlah yang aku minta.
Engkau Maha Pengasih, Maha Menolong, tapi Engkau tidak sedang menolongku. Engkau tidak sedang mengasihiku. Aku yang telah merasa hancur hanya bertambah hancur. Mengapa? Mengapa? Apakah Engkau membenciku, Tuhan?
Aku berjalan menuju kasur dengan menitikkan air lalu berbaring. Kubaca lagi chat dari Mami, rasanya ini semua hanya mimpi. Ini sebuah kenyataan?
Naka meninggal, lalu Papi Mami bercerai. Seolah tak cukup penderitaanku.
Juga, mengapa harus hari ini?
***
Fikri sudah berada di lobby. Aku mendatanginya agak menunduk.
“Kamu kenapa? Mata kamu sembab gitu?”
“Nggak apa-apa, yuk, berangkat.”
Di dalam mobil, aku bingung antara harus menceritakan apa yang terjadi saat ini juga atau nanti saja setelah selesai sidang.
“Yakin nggak ada yang mau diceritain?”
“Bang, aku udah solat tahajud tadi pas Abang miscalled.” Aku mencoba menahan setiap emosiku ingin membuncah dari dalam dada.
“Lalu?”
“Aku mendoakan, salah satunya, mendoakan yang terbaik untuk Mami dan Papi.”
“Iya…”
“Terus, tadi pagi aku dapat chat dari Mami, katanya hari ini jadwal persidangan perceraian mereka.”
Masih di dalam parkiran kos, kami berdua terdiam di dalam mobil. Aku tak bisa melanjutkan dan membiarkan semua emosi dam tangisku keluar.