Bidak Catur

Bimasakti
Chapter #28

28

You are the only person you need to be good enough for.

-Anonymous

   ***

Hari ini, Bu Maryam, seperti janjinya, hendak menemuiku.

Kami berdua bertemu di sebuah café nuansa industrial, tempat para orang-orang hanya sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Aku sengaja datang lebih awal. Aku turut membawa sebuah buku sebagai teman menunggu.

Dari dalam buku itu aku menemukan banyak hal yang bisa membantuku menata emosi.

Aku suka kata-kata yang berada di halaman pertamanya.

Katanya,

“Benarlah yang dikatakan banyak orang bahwa menjadi orangtua adalah pekerjaan paling penting di dunia namun paling tidak dipersiapkan. Kita mendalami sekitar 4-5 tahun di perguruan tinggi, bahkan kadang lebih, untuk memahami bagaimana menjadi arsitek, dokter, ahli hokum, dan lainnya. Namun, untuk menjadi orangtua sering kali tidak dipikirkan bagaimana mempersiapkannya.”

“Untuk bekerja beberapa jam di kantor, kita membutuhkan pendidikan yang cukup lama. Lalu, bagaimana dengan persiapan untuk menjalani 24 jam kehidupan kita sebagai orangtua? Jarang orang memikirkannya. Akibatnya, banyak terjadi kekeliruan dalam mendidik anak. Wajar jika kriminalitas pada remaja terus meningkat, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya, sebagaimana yang sering tersaji di berbagai media massa. Tidak sedikit pasangan yang mendidik anak secara terjun bebas tanpa ilmu dan persiapan. Sebagaimana saat akan membuat rumah, perlu rancangan atau blue print yang disepakati oleh suami-istri, demikian juga dalam membangun anak, orangtua atau suami-istri harus memiliki konsep dan rancangan yang jelas dan kemudian mengaplikasikannya.”

“Banyaknya orangtua yang mengalami kekhawatiran dan rasa bersalah akibat kekeliruan dala menerapkan pola asuh, menginspirasi para ahli untuk merumuskan berbagai teknik pengasuhan dan pendidikan anak. Buku ini merupakan racikan seorang ahli yang telah menerapkan dan mengajarjan berbagai strategi dalam mendidik anak tanpa kekerasan maupun kemarahan. …”

Buku ini sungguh merupakan pencerahan kepadaku sebagai korban dari orang tua yang gagal mengasuh. Aku sangat berharap Mami dan Papi dapat membaca buku ini. Supaya paham apa yang dilakukan mereka selama ini keliru.

Ya, menyalahkan memang mudah. dan setelah kupikir-pikir lagi, betapa sulit menjadi orang tua. terlebih menjadi seorang ibu. Hatiku ciut kembali. Merasa pernikahan terlalu berat untukku. Bilapun aku akan menikah, aku akan berpikir seratus kali untuk memiliki seorang anak. Karena betapa besar tanggung jawab seorang orang tua kepada anaknya. Membayangkanya saja aku ngeri.

Bu Maryam dai kejauhan melambaikan tangannya padaku.

“Assalamu’alaikum Niki…”

“Wa’alaikum salam, Ibu…”

“Maaf ya terlambat.”

“Nggak kok, aku-nya aja yang datang duluan. Masih belum jam 3, Ibu juga datang lebih cepat.”

“Hehehe…”

Aku menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas.

Setelah memesan minuman dan makanan, wajah Bu Maryam sedikit berubah, lebih serius.

“Sebelumnya Niki, kemarin, Fikri sudah cerita. Sebelum sidang, katanya orangtua kamu pun sedang sidang perceraian, betulkah?”

“Betul, Ibu…”

“Tapi Alhamdulillah sidang kamu lancar sekali. Seperti sedang tidak ada masalah personal yang serius. Kamu berhasil menjadi perempuan yang kuat, Niki.”

Mendengarnya, aku sangat terharu.

“Nilai kamu A+, sidang berjalan lancar, pertanyaan semua terjawab dengan baik. Alhamdulillah… semuanya juga berkat Allah yang melancarkan ya, Niki.”

“Alhamdulillah, betul Ibu…”

“Niki, saya kan sudah pernah bilang dulu. kalau kamu sudah lulus, nanti langsung bekerja dengan saya. ingat?”

“Ingat, Bu…”

“Nah, dari Fikri yang banyak sekali bercerita tentang kamu, sedikit-sedikit juga kamu sendiri yang bercerita. Saya mungkin seperti menemukan benang merahnya. Maksudnya begini, sebelum kamu mulai bekerja, saya ingin kamu melakukan terapi healing terlebih dahulu. Saya ingin kamu selesai dulu dengan diri kamu sendiri, supaya, pertama tentu kamu bisa lebih enjoy. Kedua, supaya kamu bisa focus kepada pekerjaan secara penuh.”

Aku mengangguk-ngangguk.

“Bagaimana? Mau diterapi? Atau mau coba self-therapy dulu?”

“Menurut Ibu, apakah saya bisa melakukan self-therapy?”

“Kalau kamu bisa meyakinkan diri kamu bahawa kamu adalah orang yang hebat, kuat dan bisa bangkit dari keterpurukan yang kamu alami, saya yakin kamu bisa sendiri.”

Aku mengagguk lagi.

“Caranya, kamu kenali dulu masalah kamu apa. Setelah itu, ingat semua kejadian, konflik, masalah yang terjadi dan setelah itu dicatat. Baik itu masalah kamu dengan orang lain juga masalah dengan diri kamu sendiri.”

“Setelah itu, kamu step back. Jadi diri orang lain yang netral. Yang nggak berpihak kepada siapa-siapa dan coba menilai dan menganalisa semuanya. Misal, masalah dengan diri kamu sendiri. Lihat kebaikan yang ada pada diri kamu, hargai semua kemampuan yang ada pada diri sendiri. Dengan begitu, perlahan tapi pasti, kamu bisa menyelesaikan masalah dengan diri kamu sendiri.”

Bicara dengan Bu Maryam tentang hal ini, sangat membantuku. Aku benar-benar membutuhkan orang seperti Bu Maryam dalam hidupku.

“Healing juga tentang forgiving, Nik. If you want your soul free, forgive…”

Aku menundukkan kepala. Mencoba mencerna semuanya.

“Nah, dalam self-healing juga, ada hal yang harus kamu tau. Jangan menjauhi konflik, konflik itu ada untuk diselesaikan, bukan dijauhi. Kalau kamu ingin maju, move on, move forward, segeralah diselesaikan. Semuanya. Jangan lama-lama meratapi diri karena di dunia ini semua orang punya kesedihannya masing-masing. Kembali bangkit. dan jangan juga mencoba untuk menyakiti diri sendiri. Kita berdua yakin akan Tuhan yang sama, setiap kamu ingin cerita, ceritakan masalah kamu dengan Dia yang Maha mendengarkan. Kalau saya, waktu terbatas. Belum tentu bisa punya waktu untuk mendengarkan cerita kamu.”

Aku diam dan pikiranku menerawang ke alam antah berantah.

“Atau, kalau kamu merasa nggak bisa sendiri. Nanti Ibu bantu.”

Aku tersenyum.

“Free”, tambah Bu Maryam.

Aku tersenyum lebih lebar lagi.

“Ada yang mau kamu ceritakan, Nik? Silahkan, hari ini saya luangkan waktu khusus untuk kamu.”

Mendengarnya saja aku merasa terhormat juga merasa tidak enak. Bagaimana mungkin, aku, mahasiswi yang baru saja lulus berhak mendapatkan waktu dari seorang ahli dan dia terlihat benar-benar peduli denganku.

“Gimana ya Bu, aku masih ngerasa, kalau curhat sama Allah itu, masih bicara, kenapa aku?”

“Niki, kamu perlu merasakan kesedihan, untuk merasakan secara penuh sebuah kebahagiaan.”

“Maksudnya, Bu?”

“Kalau selama ini, kalau ya, hidup kamu bahagia terus, tidak ada kesedihan di dalamnya, kamu akan take for granted semuanya. Tapi kalau ada kesedihan, kamu akan paham dan merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. You have to be broken, to feel how to be whole. You have to fall to pieces, to know what is whole. Betul?”

"Iya…”

You have to be in chaos, in a mess, in a storm, to know how to be strong. Berarti sudah ketemu tuh jawabannya, kamu dipilih oleh Allah karena kamu adalah perempuan yang kuat.”

“Nanti jangan lagi nanyanya seperti itu, kenapa aku? Seharusnya diubah, kenapa tidak? I will show you I can do this…!”

Ada nada semangat dari pengucapan Bu Maryam yang juga secara tidak langsung menularkan rasa semangat itu. Semangat untukku menata hidupku dengan benar, dengan baik.

Usai pertemuan dengan Bu Maryam, di dalam mobil, aku termenung. Aku nyalakan radio supaya aku tidak terlalu merasa kesepian.

            

Jatuh dan tersungkur di tanah aku

Berselimut debu sekujur tubuhku

Panas dan menyengat

Rebah dan berkarat

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Yang hancur lebur akan terobati

Yang sia-sia akan jadi makna

Yang terus berulang suatu saat henti

Yang pernah jatuh 'kan berdiri lagi

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Lihat selengkapnya