Tak ada dari diri manusia yang bisa mengendalikan badai untuk berhenti. Yang bisa dilakukan dari seorang manusia yang lemah hanyalah mengendalikan dirinya sendiri untuk tenang menghadapi badai itu.
***
Sepulang diantar Fikri ke kos. Hatiku berbunga-bunga, bunga mawar berwarna merah, merah muda, putih, kuning, yang tak ada hanya mawar berwarna hitam.
Senyumnya kala meninggalkanku di lobby, menempel hingga aku tertidur.
Pagi ini, aku sudah bersiap menunggu Fikri menjemput menuju Jakarta. Ya, aku harus menemukan Maria. Aku akan bercerita banyak dan aku yakin dia pun sama.
Seperti hendak pergi bertamasya. Aku sudah siapkan banyak snack untuk di jalan.
Dan baru pertama kalinya di dalam hidupku, aku mulai bingung memikirkan untuk memakai pakaian seperti apa. Aku ingin tampil cantik di depan Fikri. Aku ingin dia selalu menatapku. Aku yang cuek, berubah. Aku yang sering mengenakan pakaian serba hitam, kini mulai melirik pakaian-pakaian yang dibelilkan Mami, yang belum pernah kupakai barang satu kalipun juga.
Ada sebuah dress bunga-bunga, sebuah dress salur berwarna-warni, sebuah dress pendek, dress berlengan dan tidak berlengan. Semuanya adalah dress-dress girly yang selalu kubenci. Tapi kini aku ingin mencobanya satu-persatu.
Aku pilih sebuah dress berwana coklat muda kejingga-jinggaan. Tapi karena dress itu tak berlengan, hanya terdapat dua buah tali yang bisa kusangkutkan ke bahuku, maka di dalamnya aku pasangkan dengan kaus putih berlengan pendek. Juga sebuah celana jeans panjang. Dan aku membawa dua macam alas kaki, sepasang sandal dan sepasang sepatu kets. Just in case…
Lalu aku bercermin. Aku mulai melihat gaya rambutku yang selalu diikat. Aku lepas ikat rambut dan menggeraikannya.
Tiba-tiba saja aku ingat, aku pernah melihat tetangga di sebelah kamarku sedang meng-curly rambutnya.
Entah mendapatkan ilham darimana, aku beranikan diri mengetuk kamarnya.
Karena masih sangat pagi, dia membuka pintu kamarnya masih dengan mata yang setengah terpejam.
“Ya?” tanyanya.
“Hai, aku yang tinggal di sebelah. Sorry ya ganggu pagi-pagi…”
“Iya nggak apa-apa. Ada apa ya?”
“Ini, apa namanya, kamu punya alat pengeriting rambut?”
“pengeriting rambut? Oooh, curling ya? Punya-punya…”
“Hmm… ini, aku boleh pinjam alat pengeriting rambutnya sebentar nggak?”
“Oh, boleh, bentar ya,” dia masuk ke kamarnya dan kembali menemuiku dengan sebuah alat di tangannya. Dan menyerahkannya padaku.
“Makasih, nanti aku kembaliin ya. Nggak lama kok.”
“Iya santai aja…”
Di dalam kamar, karena pertama kalinya aku memegang alat ini, juga karena aku yang masih sangat amatir, dengan cepat aku ambil hp dan mencari tutorial menggunakan alat pengeriting rambut lewat internet. Setelah itu aku langsung mengeksekusinya.
Dengan susah payah aku mencoba sebaik mungkin supaya rambutku terlihat enak dipandang. Dan aku cukup senang dengan hasilnya.
Setelah mengetahui Fikri tiba di lobby, aku bersegera. Aku cek beberapa kali penampilanku. Aku juga cek beberapa kali barang-barang yang hendak kubawa.
Sesampainya di lobby, Fikri Nampak terpana pada penampilan baruku. Dia yang sedang duduk, memerhatikanku dari ujung atas rambut sampai ke ujung bawah kakiku.
Tanpa berkomentar apa-apa, dia tersenyum.
“Ayo berangkat!” ajaknya.
“Go go go…!” aku ikut tersenyum.
***
Tiba di rest area terdekat, kami berdua hendak sarapan terlebih dahulu. Turun dari mobilnya, ada vibes tertentu yang memberikan sebuah energy, seolah aku sudah menjadi istrinya. Dan aku sangat senang hingga aku hanya bisa tersenyum-senyum.
“Apa sih senyum-senyum sendiri?”
“Apa sih liat aja..”
“Ya iyalah, orang keliatan jelas gitu.”
Aku yang jarang sekali menggeraikan rambut, merasa gerah. Tak nyaman dengan keringat yang mulai keluar membasahi leher bagian belakang. Aku ambil ikat rambut dari dalam tas dan mulai mengikat rambutku kembali. Menjadi Niki yang seperti biasanya.
Setelah memesan dan duduk, Fikri kembali menatapku dengan wajah yang serius.
“Kenapa diikat rambutnya?”
“Nggak apa-apa, cuma gerah…”
“Oh…”
Apakah dia senang melihatku dengan rambut yang tergerai? Dia menggaruk-garuk lehernya sembari sesekali melihatku.
“Kenapa kamu lebih cantik hari ini?”
Aku tersedak oleh air liurku sendiri. Dia tersenyum. Dan tersenyum lagi. Aku sangat salah tingkah, tak berharap dia akan sejujur itu mengekspresikan hal yang sulit diucapkan.
Tapi, tentu aku senang mendengarnya. Aku teramat senang mendengarnya. Aku yakin pipiku memerah saat ini.
Dari dalam restoran, lagu can’t take my eyes off of you diulang beberapa kali. Seolah berkonspirasi dengan Fikri untuk membuatku malu.
You're just too good to be true
Can't take my eyes off of you
You'd be like Heaven to touch
I wanna hold you so much
At long last, love has arrived
And I thank God I'm alive
You're just too good to be true