Ketika menghadapi kenyataan, kadang kita perlu melepaskan ratu (ego), bila kita tahu kita dapat memenangkan permainan dengan sisa bidak catur yang ada.
Jangan pernah bermain dengan lawan. Bermainlah dengan catur itu sendiri. Bila kita melihat catur sebagai permainan catur saja, kita tidak akan pernah merasa terintimidasi.
***
Di jalan pulang kembali ke Bandung, Fikri yang baru saja memberikan makan seorang bapak-bapak di pinggir jalan bercerita:
“Pernah, dulu aku ngobrol sama kakek-kakek yang setelah aku kasih uang, karena aku penasaran kenapa dia end-up seperti itu di jalan sendirian. Dia cerita, kalau baginya memalukan harus meminta-minta dengan mengayun-ayunkan sebuah cup plastik di tangannya, berharap seseorang memberinya uang untuk makan. Dan mata orang-orang kebanyakan memperlihatkan ketidaknyamanan. Sementara dia sudah tua, beberapa kali mencari pekerjaan tapi tidak ada yang mau menerimanya. Dan menyakitkan untuk dia sewaktu seseorang lewat dan menyuruh dia mencari pekerjaan. Dan menyakitkan untuk dia sewaktu makin malam dan semua orang pergi pulang ke rumahnya sementara dia nggak punya tempat pulang.”
“Kenapa?”
“Seingat aku, dia bilang anak-anaknya nggak pernah cari dia. Dan munggkin harga diri juga, untuk dia yang mencari anaknya.”
Aku agak sedikit tertampar. Setelah telepon dari Papi, tak pernah ada kabar lagi darinya. Tak pernah ada ucapan dari Papi tentang hubungan kami akan bagaimana selanjutnya. Tentu aku ingin tahu setelah bercerai, nanti Papi akan tinggal dimana dan apakah aku boleh sesekali melihatnya. Tapi aku sadar tak akan pernah ada pembicaraan seperti itu dengan Papi.
“Aku selalu bermasalah dengan orang-orang kaya, yang tipe kaya-nya itu bener-bener kaya raya, tapi di deket dia tinggal masih banyak orang yang kelaparan. Kayak, gimana bisa? Gimana bisa?”
Aku hanya diam mendengarkan, hari sudah mulai malam dan topik pembicaraan yang Fikri pilih sangat dalam.
“Gimana bisa, kalau kita adalah orang yang bergelimangan harta bisa tidur nyenyak, tanpa peduli di sekitar dia ada yang bisa makan atau nggak, punya pekerjaan atau nggak?”
Sekali lagi aku hanya diam, selain karena aku mengantuk, aku tidak terlalu tertarik pada topik ini karena aku tidak bisa relate. Aku bukan keduanya. Aku bukan orang yang kelaparan, juga bukan orang yang bergelimangan harta yang kelewat kaya.
Mengetahui aku diam saja, dia sekilas melihatku. Mungkin memastikan apakah aku tidur atau tidak.
“Aku dengerin kok, Bang…”
“Ngantuk ya?”
“Sedikit…”
Hp-nya berdering.
“Umi-ku nih, aku loud speaker aja ya, susah soalnya kalau sambil nyetir.”
Aku tersenyum kecil dan mengangguk pelan.
“Assalamu’alaikum Umm…”
“Wa’alaikumsalam, udah dimana Bang?”
“Udah perjalanan Bandung, Umm.”
“Oh, syukurlah. Udah makan?”
“Udah. Udah makan, habis isya tadi makan dulu.”
“Alhamdulillah. Niki-nya nanti diantar pulang ke kos-nya, terus kamu juga langsung pulang ya. Jangan nggak sopan sama perempuan ya, Bang. Inget.”
“Ya jelaslah Umm. Masa aku nggak sopan. Aku adalah anak Ummi, anak paling sopan di dunia ini.”
“Tadi pas lagi makan kamu yang bayarin nggak? Inget Bang harus bayarin ya, jangan mau dibayarin.
“Pastilah Umm. Kan aku anak Ummi. Ummi yang bikin aku. Ummi yang ajarin aku.”
Percakapan itu membuatku tak bisa tak tersenyum.
“Yaudah ya, hati-hati di jalan. Salam aja ke Niki. Assalamu’alaikum…”
“Siap grak! Wa’alaikum salam, Ummiku sayang…”
Sampai sini rasanya sulit untukku menahan tawa. Setelah telepon itu berakhir, Fikri menengok ke arahku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?”
“Hhehe, ya lucu aja dengernya. Belum pernah sebelumnya denger percakapan ibu sama anaknya kayak Abang sama Umi. Dan kayaknya, seumur hidup aku pun, aku nggak akan pernah bisa ngobrol kayak gitu sama Mami apalagi sama Papi.”
“Ya jelaslah, kan mereka dua orang yang berbeda. Kita aja beda.”
“Iya, maksudku, aku iri. Kayaknya seru ya kalau punya ibu kayak Umi.”
“Ada kelebihan, ada kekurangannya juga Nik. Kamu belum hafal aja kekurangan Umi-ku.”
“Yaaa, yang jelas tetap lebih nyaman punya ibu yang peduli dan perhatian. Liat aja, kalau aku, Mami tuh orangnya bodo amat. Mau aku pulang tengah malem, mau aku pulang pagi, Mami nggak pernah pengen tau. Nggak peduli juga. Aku tuh udah lebih mirip kayak anak jalanan.”
“Tapi aku iri sama kamu.”
“Lhaa? Iri bagian sebelah mananya?”
“Kamu lebih punya kebebasan. Kalau aku, beuh, udah kayak solat, lima waktu minimal ditelponin. Kayak masih bocah.”
“Itu tanda sayang Bang. Lucu ya. Tapi lucu ya, aku pengen kayak abang yang diperhatiin. Abang pengen kayak aku yang bebas.”
“Btw Nik, aku mau ngobrol sesuatu boleh?”
Tiba-tiba kantukku hilang.
“Boleh…”
“Kamu tau Michael Jordan nggak?”
“Hmm?” Aku sungguh tak paham bagaimana cara seorang lelaki berpikir. Aku pikir dia sedang akan mengatakan sesuatu yang serius yang berhubungan denganku.
“Tau nggak?”
“Tau, pemain basket kan?”
“Nah, dia itu punya mindset yang aku kagumi. Dia bilang begini, kurang lebih kayak gini, kalau dia latihan sekeras mungkin, secara fisik tuh kayak bener-bener menyiksa dan itu akan menciptakan lingkungan yang sulit juga untuk tim-nya. Tapi, menurut dia, nanti pertandingan itu akan terasa seperti liburan.”
“Ok…”
“Nah, maksudku. Begitu juga dengan aku. Aku mungkin salah satu lelaki yang cukup berhati-hati dalam pilih pasangan, karena tentunya aku cuma pingin punya pernikahan yang awet dan bahagia. Tapi, tapi nih…”
Aku menengok melihatnya menunggu dia melanjutkan pembicaraan.
“Aku tuh, mmm, gimana ya. Ya intinya aku mau kenal kamu lebih jauh, dan arahku adalah pernikahan.”
Mataku fokus melihat jalan di depan sambil memikirkan apa yang dikatakan Fikri.
“Aku bukannya menunda dengan nggak menanyakan status hubungan kita. Nggak sama sekali. Aku hanya masih mau lihat gimana kamu memandang pernikahan.”
Tak ada lanjutan, sepertinya dia ingin mendengar pendapatku mengenai pernikahan.
“Mmm… untuk pernikahan… sebenarnya untuk saat ini, memang belum terpikir kesana sih, Bang.”
“Kenapa?” tanyanya beigtu cepat.
“Pernikahan itu terlalu kompleks buatku.”
“Apanya yang kompleks?”
“Hubungannya, hubungan pernikahan.”
“Iya, bagian mananya?”
“Apa ya. Kalau berkaca ke pernikahan orang tuaku. Pertama, tentang cinta. Apa, kalau di dalam pernikahan itu, rasa cinta bisa hilang? Karena kalau aku lihat Mami sama Papi, waktu aku kecil, they seemed fine. Tapi semakin aku besar dan dewasa, semuanya justru semakin banyak chaos. Kayak nggak ada aja gitu rasa sayang di antara mereka berdua. Dan perdebatan, argument itu nggak ada ujungnya. Masing-masing keras kepala.”
“Tentu ada alasannya kenapa.”
“Ya itulah, aku takut, kalau menikah, akan ada banyak masalah yang akan membuat kita jadi nggak saling sayang lagi.”
“Bukan seperti itu, Nik…”
“Ya itu kan yang aku alami dan aku lihat sendiri.”
“Iya, betul. Tapi nggak semua pernikahan itu akan semuanya jadi seperti itu, dong? Ya kan?”
“I don’t know…”
“Nggak bisa kita sama-ratakan pernikahan. Karena setiap orang di dalamnya juga beda-beda. Kamu cuma ada satu di dunia ini, begitu juga aku. Dan kamu nggak akan suka dong dibandingkan dengan orang lain? Karena orang lain itu bukan kamu.”
“Iya sih…”
“Entahlah ya, karena aku belum pernah lihat orang tuaku berkelahi. Aku juga nggak bisa kasih masukan apa-apa. Yang pasti, menurutku, salah satu kunci pernikahan itu komunikasi. Karena, ya gimana kita bisa jadi teman sampai tua kalau kita berdua nggak bisa komunikasi? Gimana caranya kita itu bisa, untuk salah satu bicara dan yang satunya lagi mendengarkan, begitu juga sebaliknya. Kita harus speak up keinginan kita dengan cara yang baik, tapi juga harus mau mendengarkan keluhan pasangan. Selain itu ya, tentu ada juga korelasinya sama hubungan kita masing-masing dengan Tuhan. Kita tetap merawat hubungan vertikal dengan Tuhan sekaligus merawat hubungan horizontal dengan sesama. Dengan pasangan, dengan anak, dengan orang tua, dengan siapapun itu.”