Biduk Berlalu Kiambang Bertaut

Ananda Wahyu
Chapter #1

#1 Prolog

'Dinu kiwari ngancik nu bihari, seuja ayeuna sampeureun jaga'[1]

Dahulu, hampir setiap hari Ulin melewati simbol kemegahan kota ini. Dia bahkan tidak pernah tahu apa arti tulisan pada ornamen batu di bawahnya. Tidak terbersit rasa ingin tahu. Baru tadi sore, ketika terlintas keinginan untuk mengunjungi kota ini, setelah sebelumnya mengunjungi Opick.

Penampilannya, terlalu bersahaja. Kali ini dengan ransel, juga sandal gunung. Mengunjungi tempat ini, rasanya, seperti masuk kembali dalam dimensi masa lalu. Sekedar bernostalgia. Meski masa lalunya tak sehangat rahim ibu.

Dia berdiri di atas trotoar menuju Jalan Otista. Sebelum jembatan, ada gang masuk, di sanalah dulu dia pernah berhidup sebagai anak kosan.

Meski tidak semuanya, tempat ini jelas berubah sedikit pongah. Bangunan hotel yang menjulang, jelas akan menghalangi orang-orang yang ingin melihat kemegahan Gunung Salak di pagi atau sore hari. Namun, apakah manusia-manusia sekarang sempat menikmati vista puncak gunung itu, mendesahkan kesyukuran.

Rasanya tidak.

Manusia-manusia jaman sekarang lebih senang menundukkan pandangan pada gawainya, bergerak terlalu pantas. Mereka acuh pada kiri dan kanan, seakan sedang dikejar hantu, menolehpun hanya ketika menyebrang jalan.

Ulin adalah salah satunya. Manusia acuh itu. Saat menyusuri bahu jalan, matanya malahan meliar, melihat sosok jangkung dengan rok mini berwarna ungu bling-bling. Yeah, rasanya warna itu. Tempatnya lumayan gelap, meski tidak segelap dulu. Melirik pergelangan tangan, setengah sepuluh malam. Ah, ini harusnya masih terlalu dini, untuk mereka berkeliaran.

Tiba-tiba Ulin teringat seseorang.

Teringat perjuampaan singkatnya. Lalu kenangan-kenangan lainnya, yang membungkus perjumpaan itu, berusaha mendobrak ingatan, bagai air bah Sungai Ciliwung di musim hujan, yang berusaha melewati Pintu Air Katulampa.

Tahun 2005 ketika dia memulai magang di Kota Baja, di tahun akhir kuliah. Jarak yang cukup jauh. Setiap Jumat sore, terkadang jam delapan malam baru bertolak dari kota itu. Ya, karena bis AKAP yang melulu lambat, terjebak macet di Tangerang, Jakarta, lalu sampai Ciawi tengah malam. Itupun paling cepat. Terkadang, setengah dua malam baru menjejak kaki, turun dari angkot.

Tengah malam, menyusuri Jalan Otista yang sunyi, ditemani bayang-bayang Pohon Palem dengan daun-daun yang menjuntai di sepanjang jalan, semakin menghitamkan apa yang dia lalui.

Sebenarnya itu memang tidak terlalu elok, apalagi bagi dirinya yang terlihat lurus. Menyusuri hari yang mulai berselimut kabut pagi.

Assalamualaikum … Baru pulang, Neng?” sapa seseorang dengan suara sedikit kemayu, yang dibuat-buat.

Sosok jangkung itu, terlihat menjulang seperti menara. Tentu saja, dia memakai heels. Wig coklat kriwil, celana ketat warna khaki, menyampirkan tas warna jingga. Entah karena pandangannya yang sedikit buram atau memang warnanya sudah pudar. Hanya pencahayaan lampu dari pertigaan Tugu Kujang yang menyuluhnya.

“Iya,” jawab Ulin serupa gumaman.

Aroma sosok yang baru menyapanya, harum. Rasa-rasanya, bukan jenis parfum murahan.

Yah, malam telah larut, bahkan merangkak pagi, dingin mulai menusuk. Sosok jangkung itu merapatkan jaket. Ulinpun sama.

“Malam-malam gini, bahaya lho, awewe, keliaran seorangan wae. [2] Dari mana, setiap weekend, pulang larut?”

“Kok, tahu?”

“Kan ekke mangkal, Neng, tiap weekend.”

Lihat selengkapnya