Biduk Berlalu Kiambang Bertaut

Ananda Wahyu
Chapter #2

#2 Tsunami

Kalijambe, Desember 2018

Korban tsunami yang terjadi di Selat Sunda, khususnya Anyer, Serang dan Kabupaten Pandeglang, serta Lampung Selatan terus bertambah. Berdasarkan data sementara Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) hari Minggu 23/12) pukul 07.00, korban meninggal 43 orang, 2 hilang dan 584 lainya luka-luka.

Ulin menghentikan parutan kelapa, ketika nyeri pada ruas jarinya menyengat ubun-ubun. Tapi fokusnya teralih pada layar LCD 42 inchi yang menyajikan berita memilukan itu. Bencana, lagi-lagi meluluh lantahkan negeri. Kali ini Banten, sebagian Lampung.

Masih ada dua butir kelapa lagi yang tengadah meminta uluran tangannya. 'Kenapa juga nggak diparut di pasar. Membuat jari tangan luka. Rasanya tergores paku pengukur kelapa, lebih sakit dari menjadi janda.' Batinnya dilingkupi haru seketika. Karena apa yang dilihatnya pada layar televisi, juga pada jari runcingnya yang kini memerah.

“Eit, jangan di pindah salurannya!” Ulin melempar potongan kelapa sebesar jempol pada sosok yang sedang mengaruk-garuk rambut ikal sebahu itu. Anai-anai putih beterbangan seketika dari rambut ikal itu. 

“Menjijikan! Oi, jorok itu ketombe.”

“Nonton, Mbak?” ujarnya dengan mata masih berusaha terpicing.

“Memang pilem ditonton. Itu berita tsunami, kok aku nggak tahu.”

“Ckkk … makanya, aktifin notifikasi portal berita, biar up to date. Ponsel kok buat ganjel pintu.” Feri keponakannya memerli.

Ulin tak mengindahkan hal itu. Sudah lama dia mematikan semua notifikasi berita. Notif-notif yang sempat membuatnya sedih, malu, gila hampir bersamaan. Yah, dirinya pernah menjadi korban cyber bullying bersamaan dengan kasus yang menimpa Opick. Ulin menghela napas, dia lebih rungsing karena berita yang masih terpampang di layar televisi. Ongokan sampah yang berasal dari puing rumah, kendaraan dan tentu saja jasad yang tercerai berai anak yang terpisah dari orang tua, juga sanak famili.

Manusia memang tidak pernah dapat menebak hal yang terjadi nanti, meski itu satu detik ke depan. Apalagi mati. Bagaimana, di mana ajal akan datang. Pikirannya langsung melayang pada sahabatnya. Yang entah dia sendiri sedikit bingung, apakah masih tinggal di Cilegon atau sudah bermukim di Serang.

“Fer, ambilkan ponselku! Di tas kecil itu … tuh,” tunjuk Ulin pada tas selempang yang tergeletak di kursi panjang dekat dengan pintu penghubung ruang tamu.

“Setahuku, ada grup musik ibukota yang ikut jadi korban, beberapa personilnya masih berstatus, missing. Alias dalam pencarian.”

Ulin mengabaikan Feri yang sudah menyerupai pembaca berita. Kemaki sekali lelaki tanggung ini. Dengan sedikit ceroboh Ulin menekan tombol hijau. Talian di seberang sibuk. Dia mencobanya beberapa kali, hasilnya nihil. Tangannya yang mengkilap karena santan kelapa membuat ponselnya mendarat di pangkuannya beberapa kali. Akhirnya, karena merasa putus asa, dia memilih mengirimkan pesan.

“Mbah ...! Mbah Wulan, ayo buruan parutannya,” teriakan garang terdengar dari dapur.

Budhe Narmi.

Mungkin sedikit mengelikan karena Feri yang memanggilnya Mbak, begitu juga Ferita. Kesalahan fatal dari kecil. Panggilan itu sudah mendarah daging, tidak bisa berubah sampai kini. Pada kenyataannya, mereka berdua adalah cucu dari budhenya. Lebih mengelikan lagi, tepat sepasar dirinya sudah bergelar, Simbah. Tiga butir kelapa itu untuk aqiqah anak sulung Ferita. Memang tokcer pasangan muda belia itu. Sepuluh bulan langsung brojol.

Sedangkan dirinya?

Kalau dihitung-hitung memang rejeki sudah ada yang mengatur. Saat Ulin di tahun akhir berseragam biru putih, Ferita lahir. Matlamat sebagian generasi milenial, yaitu menikah muda. Melihat bayi kecil itu menyusu dengan begitu semangat, jiwa dan raganya bagai disedot dalam satu pusara. Jodoh dan rejeki itu sudah ada takarannya masing-masing, ada waktunya. Kapan berawal, kapan mendekat, lalu berakhir.

Ya, seperti inilah Ulin dengan rejeki dan jodohnya. Yang sedikit menyesakkan.

Lihat selengkapnya