Biduk Berlalu Kiambang Bertaut

Ananda Wahyu
Chapter #3

#3 Bersua

Hati Ulin lega ketika mendapati pesan dari Kamila. Pesan yang ditunggunya, siang dan malam. Satu teman karibnya saat kuliah yang masih tersisa. Ulin yang memang tidak banyak memiliki teman. Hubungan merekapun hanya sekilas bertanya kabar lewat sambungan telefon, atau Ulin mengirim sekedar hadiah saat lebaran. Hadiah itu juga terkadang dimaknai sebagai simbol kata ‘maaf’. Ulin sering mendadak membatalkan pertemuan mereka yang sudah dirancang jauh hari, alasannya, mendampingi Opick. Memang benar bahwa pernikahan bagi sebagian perempuan menjadi salah satu gunting tajam yang memotong sebuah ikatan persahabatan.

Kelegaan tak dapat ditutupi, Kamila dan keluarganya ternyata sedang bermalam minggu di rumah keluarga besarnya yang berada di salah satu perumahan kota Cilegon. Saat tsunami terjadi. Yang merungsingkan, adik iparnya sampai saat ini belum dapat di hubungi. Tidak di ketahui di mana mereka mengungsi.

Dalam hati, Ulin berdoa semoga istri dan anak Iwan, adik Kamila segera di temukan jejaknya. Karena menurut Kamila, Iwan saat ini berada di Jayapura.

Ulin menghela nafas. Kota yang akan dia hampiri memang menyimpan sedikit cerita usang saat dirinya muda. Saat dia dan Kamila merasakan sebagai mahasiswi magang pada anak perusahaan baja terbesar di negeri ini. Kamila memulai magang lebih awal dari Ulin. Dua minggu lebih awal.

Sejak awal mula, dia memang mengajukan diri pada perusahaan tersebut. Selain dekat dari rumahnya di Cilegon, semboyan Kamila itu yang sedikit ngawur.

“Lin, kalau sudah di tahun akhir, target selanjutnya membidik calon imam. Nah, ya di sana, grup-grup dari perusahaan baja itu, para pegawainya, sangat-sangat bisa diperhitungkan sebagai calon imam.”

“Imam? Maksudnya?”

“Kantongnya itu, sedikit luber.”

“Ck, kirain apa. Matlamatmu itu, lho. Bojo … klo ndak, ya mbojowae.

Ulin hanya bisa tertawa. Saat itu dia bahkan tidak punya planning untuk nikah muda. Tapi entahlah. Tiada orang mampu menebak nasibnya sendiri. Sengol bacok, bisa berubah menjadi sengol, yuk, dek ke pelaminan. Rejeki, jodoh itu seperti kematian, dia mengejar setiap yang bernyawa. Itulah prinsipnya.

Ulin sendiri saat itu memasukkan proposal ke rumah sakit yang bersebelahan dengan tempatnya menuntut ilmu, Kampus Hijau. Sayang, kuota magang di rumah sakit tersebut hanya sedikit, dan sudah di isi beberapa anak Gizi juga anak Analis Kimia juga beberapa Akademi Perawat. Dirinya yang berniat magang pada bagian instalasi limbah harus gigit jari.

Kelimpungan, karena semua teman seangkatannya sudah mendapat tempat magang masing-masing. Akhirnya, teman karibnya itu menawari magang di tempat yang sama. Tempat itu juga menjadi tonggak awal perselisihannya dengan Kamila. Gadis yang dia anggap lugu, lucu dan belagu itu bahkan pernah membuatnya meledak. Mila dengan perasaan-perasaan mudah naksir, yang serupa bulu. Mula-mula tumbuh lalu membuat gatal.

Untung semua itu cepat berlalu, terselesaikan dan mungkin terlupakan. Mungkin?

Bagi Ulin, kota ini membawanya pada masalah, ongkos yang dia bayar terlampau mahal, semua skedulnya hampir ambyar, mendapat malu, juga telat wisuda. Komplit sudah amanat penderitaanya. Hanya karena seorang. Ah, Ulin sesak nafas, malas mengingatnya.

Nasib yang menyeretnya ke kota ini, membuatnya meninggalkan ke empat murid les privatnya. Lalu memadatkan kegiatan rohisnya pada Sabtu dan Minggu. Dari halaqoh, kajian umum, juga aktifitas biro syiar, jadwal mading juga buklet. Inti ceritanya, selama dua bulan magang, belum sekalipun dia menikmati malam Minggu di Kota Baja.

Seandainya dia bermalam Minggu di kota ini, putaran nasib tidak akan menjumpakannya dengan Amanda.

Ah, Amanda ….

 Dia sendiri bingung. Entah kenapa, bila bernostalgia ke Kota Hujan, ingatan akan dia menyelinap. Sekarang dia hampir melintasi Kota Baja, ingatan tentang sosok lain juga menyelinap. Mengkin karena pertautan nasib yang tidak selesai.

“Mbak Wulan, kita nanti dapat di Serang, kalau nggak Anyer loh.”

Ulin menoleh pada asal suara. Budi dan Indah. Dua orang yang beberapa bulan lalu juga menjadi mitranya saat di NTB dan Palu.

“Di mana saja, aku, oke kok, Bud.”

“Anyer kita nanti,” sahut Indah sambil menguap, menahan kantuk. Hawa yang dingin karena AC dan suasana luar yang gerimis menambah kesyahduan.

Lihat selengkapnya