Biduk Retak

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #1

Kejutan

Nikah, hal sakral untuk semua wanita bahkan masuk dalam mimpi terbesar mereka. Apalagi menikah dengan orang yang dicintai. Pernikahan tak hanya menyatukan dua orang saja, tetapi menyatukan dua keluarga besar dalam sebuah ikatan kekerabatan. Banyak sekali anak-anak muda yang membayangkan pernikahan itu penuh dengan keindahan. Aku termasuk dalam kalangan itu. Namaku, Kasih. Aku adalah seorang gadis yang pernah mendapatkan cap gadis tak laku di kampungku. Menikah diusia yang masih belia, dua puluh tahun. Ya, menurutku usiaku masih terlalu muda saat ini. Ada banyak sekali mimpi-mimpi yang belum kuraih. Tetapi, usia kepala dua di kampungku termasuk kategori gadis paling tidak laku. Begitu pula dengan kedua orang tuaku. Mereka masih beranggapan anak mereka tidak laku-laku. Padahal aku ingin menyelesaikan kuliahku, melanglang buana kemana-mana, dan juga melihat indahnya negeri ini. Mimpi tinggallah mimpi. Sekarang bukan waktunya untuk meratapi.

Aku pernah memimpikan pernikahan dengan seorang pemuda baik, pekerja keras dan juga penyayang bernama Ozie. Aku hanyalah anak dari keluarga sederhana sehingga keluarga besarnya melarang menikahiku. Takdirku tak bersamanya, saat itu aku menjadi seorang gadis paling galau, frustasi, dan juga tidak percaya diri. Duniaku hancur, kami saling mencintai tapi Tuhan seakan tidak mau merestui. Tali jodoh kami tidak tertaut sama sekali. Akhirnya aku putus dengan Ozie. Lalu, datanglah pria nekad bernama Abimanyu Burhanudin.

“Kamu mau nggak jadi istriku?” kata pria yang sering dipanggil Abi itu melalui telepon. Jujur, kalimat itu menghentak pendengaranku juga membangunkan sikap angkuhku. Bagaimana mungkin aku menikah dengan senior mantan pacarku?

“Hm, aku punya orangtua. Kamu tahu dong mau minta ke mana?” jawaban entengku ternyata mengubah duniaku. Selang tak berapa lama, dia datang dengan keluarganya. Eits, salah. Perwakilan anggota keluarganya. Karena yang melamarku hanyalah dia dan salah satu kerabatnya. Ternyata ucapan spontanku berubah menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Ayah tak perlu pikir panjang menyerahkan aku kepadanya karena dia adalah seorang anak dari keluarga terpandang.

“Ayah! Kenapa Ayah menerima lamaran itu?!” teriakku sambil menahan tangis. Bagaimana bisa tangisku tidak pecah. Kabar pernikahanku dengan Abi sudah menyebar ke seantero desa. Bahkan aku sendiri tak tahu kapan pernikahanku akan dilaksanakan.

“Ka, kamu sendiri yang bilang kalau kamu yang minta dilamar?!” jawab Ayah dengan tenang.

“Tapi, aku nggak serius, Yah. Aku cuma menggertak lelaki itu!”

“Kamu pikir nikah buat main-main! Ayah tidak mau tahu, kamu harus menerima dia sebagai suamimu walaupun dia seorang duda. Mau ditaruh mana muka Ayah kalau menolak lamaran Pak Herman!” gertak Ayah.

“Tapi, Yah!” Ayah melengos pergi begitu saja. Aku meringkuk meratapi nasib, boneka beruang di kamar menjadi korban keganasanku.

 Cobaan yang datang sebelum pernikahanku menyapa. Ozie masih sering menjemputku di kampus.

“Aku sudah bilang jangan temui aku lagi!” rengekku pada Ozie yang sudah pasang muka di depan gedung fakultasku.

“Tapi, Ka. Aku masih sayang sama kamu. Apa kamu sudah tidak sayang sama aku?” kata Ozie sambil meraih tanganku.

“Bukan masalah sayang atau tidak sayang. Tapi, yang kamu pegang sekarang adalah tangan calon istri orang,” jawabku sedikit ketus. Sebenarnya aku senang dia menemuiku, tapi aku tidak mau memberikan harapan untuknya.

“Maksudmu apa, Ka? Jelaskan padaku!” suara Ozie sedikit meninggi sembari membalikkan badanku.

“Zie, aku mau nikah dua minggu lagi. Aku mohon jangan memperkeruh keadaan. Kamu sendiri yang menyerah begitu saja dengan hubungan kita,” ucapku dengan mata berkaca-kaca.

“Tapi, Ka! Kenapa secepat ini? Siapa yang akan menikahimu?”

“Abi,” jawabku sambil meninggalkan Ozie sendiri. Tangisku pecah, pria yang kutinggal itu adalah orang yang selama ini bersamaku. Kami merajut mimpi-mimpi indah di masa depan. Dia konsentrasi dengan pembangunan rumahnya dan aku konsentrasi pada kuliahku. Tapi, semua hancur begitu saja setelah mendengar keluarganya tak bisa menerimaku. Aku harus berjuang sendiri, dengan mimpiku sendiri walaupun dengan orang yang tak kuharapkan sama sekali. Abi, lelaki itu yang sekarang menjadi suamiku. 

Ada sebongkah kekecewaan yang terpancar dari wajah Ozie. Ya, setelah sekian tahun lamanya kami berusaha mempertahankan hubungan tanpa status kami, akhir yang pahit harus kami terima. Mungkin aku juga salah karena terlalu enteng menghadapi laki-laki. Aku tak memikirkan arah hubunganku dengan Ozie. Hubungan kami sebatas senior dan junior yang dekat. Apalagi setelah Ozie hanya fokus pada skripsi yang sedang ia rampungkan. Perlahan hubungan kami menjauh. Hal itulah yang membuatku membuka hati pada Abi. Salah satu alumni kampusku dan teman satu organisasi Ozie di sebuah rumah singgah.

Abi adalah seorang duda muda beranak satu. Aku tak tahu masalah apa yang membuatnya berpisah dengan mantan istrinya. Tapi, sikapnya selama ini cukup baik padaku. Hal itu sempat membuat aku berselisih paham dengan sahabatku. Anindira sempat menegurku karena tahu status Abi seorang duda.

Lihat selengkapnya