Seminggu sebelum pernikahanku ada perasaan takut yang tiba-tiba menghujam hatiku. Sore itu aku bertemu dengan Ozie untuk terakhir kalinya. Aku ingin mengakhiri kisah kami secara baik-baik dan juga membujuk Ozie agar tak menghubungiku lagi.
“Kamu yakin mau hidup sama dia?” tanya Ozie sambil menulis makanan yang akan kami pesan di sebuah restoran.
“Nih!” aku menyodorkan undangan pernikahanku pada Ozie. Dia memandang undangan berwarna hijau tua itu, kemudian tertawa getir.
“Kamu minta aku datang ke resepsimu? Terus aku harus bahagia gitu lihat kamu bersanding dengan Abi?!” protes Ozie.
“Zie, kita sudah putus beberapa bulan yang lalu. Lalu, kamu mau berharap apa lagi? Aku tak mau kamu jadi duri dalam hubunganku dengan Abi.”
Dia tertawa kemudian mendengus kesal. Aku tahu hatinya pasti hancur dengan semua ini. Apalagi kami pernah memimpikan suatu saat akan bersama di sebuah pelaminan. Tapi, aku tak pernah menyangka akan mengundangnya sebagai seorang tamu dalam pernikahanku. Sungguh aku mengasihani diriku sendiri. Kami berdiam diri sembari menunggu pesanan kami datang. Aku masih sibuk dengan berkas-berkas tugas yang harus kukerjakan setelah menyelesaikan urusanku dengan Ozie.
“Apa kamu tak bisa memberi sedikit harapan lagi, Sih?” tanya Ozie dengan tatapan sendu. Aku mendongak menatap wajahnya. Helaan nafas panjang mengawali kalimat terberat yang harus kukatakan.
“Nggak ada harapan buatmu lagi!” Aku memejamkan mata setelah mengucapkan kalimat itu. Ada sebuah rasa bersalah muncul dalam hati kecilku. Ya, ia berteriak seakan aku menjadi orang paling kejam di dunia ini. Ozie adalah pria baik-baik. Ia tak pernah menyentuhku sama sekali walaupun aku berpacaran dengannya. Ia adalah pria yang begitu menghormatiku sebagai seorang wanita, ia juga pria yang kuimpikan menjadi imamku. Kami berusaha berhijrah bersama-sama. Ia tahu masa laluku seperti apa, dan juga aku tahu masa lalunya seperti apa. Hal itulah yang menjadikan kami menjadi orang yang tak gampang menilai buruk orang lain, karena kami pernah terjebak dalam keburukan itu.
Pelayan membawakan pesanan kami. Seperti biasa Ozie membantu menurunkan pesananku. Ya, kebiasaan yang sudah terpatri di dalam alam bawah sadarnya.
“Yuk makan, mumpung masih hangat,” ucapnya sambil menyodorkan sebuah mangkuk berisi mie ramen. Aku memandang matanya, tampak manik berkaca-kaca di belakang kaca matanya.
“Maafkan aku, Zie. Kamu pasti dapat pendamping yang lebih baik daripada aku. Sekarang kita bisa berteman dengan baik sesuai tempat kita masing-masing,” ucapku bernada parau. Entah kenapa rasa laparku menghilang begitu saja.
“Kamu tak perlu meminta maaf. Ini salahku,” ucapnya sambil memulai menyantap mie ramen di depannya. Tak ada yang keluar dari mulut kami. Ozie menghabiskannya sesegera mungkin. Ia tampak memperhatikanku ketika aku menikmati mie yang sudah lama ingin kurasakan. Ternyata rasa ramen tak seperti yang kuharapkan. Entah kenapa tidak begitu cocok dengan lidahku yang terbiasa dengan makanan Jawa.
“Enak?” tanya Ozie meminta pendapatku. Tanpa kujawab, dia pasti tahu dari raut wajahku. Tawa renyah Ozie kembali hadir, kali ini tawanya tak sesumbang tadi. Mungkin ia berusaha menikmati kebersamaan kami ini untuk terakhir kalinya. Setelah menghabiskan es lemon tea, aku merapikan berkas-berkas yang tertumpuk di samping tempat sendok.
“Aku yang bayar ya, Zie,” ucapku sambil merogoh dompet di dalam tas.
“Nggak, Sih. Aku yang akan bayar, kamu duduk manis saja di sini,” pangkasnya. Ia berdiri menuju ke bangku kasir. Pandanganku masih tertuju pada pria pemilik tinggi 175 cm itu. Ya Tuhan, apa luka yang kutancapkan padanya terlalu dalam?
Ozie mengajakku ke luar dari restoran tersebut. Seperti kebiasaan lamanya, ia selalu meraih helmku dan memakaikannya di kepalaku. Anehnya aku masih bersedia melakukan ritual itu.