Sehari setelah pernikahanku, Anindira pamit menuju Surabaya. Ia diterima kerja di sebuah perusahaan market place sebagai customer service. Sebagai seorang ibu yang harus menghidupi seorang anak pasti beban yang dipikul Anindira tak ringan. Apalagi harus menahan rasa rindu berpisah dengan anak semata wayangnya. Jujur, aku kagum dengan kegigihannya. Ia adalah sosok pekerja keras yang kukenal selama ini.
Dering berbunyi dari ponselku. Sebenarnya ada rasa canggung untuk mengangkatnya. Tapi, aku tak bisa membuat Anindira menungguku. Aku segera menyingkir dari meja makan. Tatapan keluarga Abi mulai membuatku risih.
“Ya, Dir, ada apa?” tanyaku sedikit melirihkan suaraku.
“Aku berangkat ke Surabaya. Maaf, mendadak. Aku nggak sempat pamitan sama kamu,” jawab Anindira dari seberang. Suara deru bus sesekali terdengar di telingaku.
“Nggak apa-apa. Yang penting kamu selamat sampai sana. Terus si Renzo bagaimana?”
“Itulah, Sih. Tadi dia nangis, dia merajuk agar aku nggak berangkat. Tapi, bagaimana aku bisa membayar semua biaya sekolahnya tahun depan kalau aku nggak kerja? Sedangkan biaya sekolah sekarang cukup tinggi. Mau nggak mau aku harus kerja, walaupun harus menciptakan jarak di antara kami,” ucap Anindira dengan suara parau. Aku tahu dia pasti sangat berat menjalani semua ini.
“Kamu sudah memberi pengertian, kan?”
“Ya, sudah. Aku harap dia bisa mengerti. Apa aku salah mengajak anakku berpikir dewasa sebelum waktunya, Sih?” tanya Anindira sedikit cemas.
“Renzo anak yang pandai, Dir. Dia pasti bisa mengerti keadaan kalian. Aku hanya bisa mendoakan semoga kamu diberikan kelancaran di sana.”
“Iya, aku juga berdoa semoga kamu bisa segera beradaptasi di keluarga barumu.”
“Hum, kita sudah membicarakan ini kemarin. Apa pun yang terjadi, aku harus menjalankan konsekuensi keputusan yang kuambil, Dir. Kamu tak usah mengkhawatirkan aku, kamu jaga diri baik-baik.”
Abi sedikit memberi kode dengan mengernyitkan dahi. Aku segera menutup perbincanganku dengan Anindira. Nampak kedua orangtua Abi sedikit risih dengan sikapku.
“Kalau sama keluarga, handphone harus ditaruh di meja. Bentar-bentar megang handphone terus. Sebenarnya kamu dapat apa dari handphone kamu itu?!” sindir Ibu mertuaku.
“Bu!” sanggah Abi mencoba membelaku. Aku memegang tangan Abi. Dia menatapku, aku mengedipkan mata kepadanya.
“Maaf, Bu. Tapi, tadi telepon dari Anindira, sahabat saya. Jadi…”
“Ibu nggak mau tahu, keluarga ini punya aturannya sendiri! Kalau kamu nggak suka kamu bisa pergi dari rumah ini!” gertak Ibu mertuaku. Abi meletakkan sendoknya di atas piringnya. Aku tahu dia sedikit risih dengan perkataan ibunya. Dia menyeretku meninggalkan meja makan untuk melindungiku dari ucapan pedas ibu mertuaku
“Anakmu kayaknya kena guna-guna deh, Pak! Lihatlah dia berani sekali meninggalkan meja makan seperti ini! Apa dia lebih memilih perempuan itu daripada ibunya!” murka ibu mertuaku.
“Kamu kayak nggak kenal anak sendiri. Dia kan paling nggak suka kalau pagi-pagi sudah ada yang ngomel-ngomel di meja makan. Salah sendiri nggak bisa mengontrol emosimu. Kamu kan bisa menasehati Kasih dengan pelan-pelan,” jawab ayah mertuaku sambil menikmati segelas air jeruk nipis hangat yang sudah siap di sampingnya.
“Wah! Hebat banget ya sampai kamu ikut-ikutan membela perempuan itu!” pungkas ibu mertuaku sambil meninggalkan meja makan.
“Bu! Ingat jangan sering marah-marah! Ingat penyakitmu itu!” pekik ayah mertuaku sambil tertawa menggoda ibu mertuaku yang sudah meninggalkan dapur menuju kamar.
Hari keduaku sudah disambut dengan ucapan pedas. Sekarang aku baru sadar, sebenarnya orang tua Abi tidak merestui Abi untuk melamarku. Tapi, Abi sudah nekad ingin melamarku. Mungkin karena itulah dia hanya mengajak pakdenya saja.