Kemarin aku harus kucing-kucingan dengan Ozie. Aku tidak mau menemuinya. Apalagi Abi sering menjemputku. Aku tidak mau memancing masalah antara dua orang yang berteman itu. Hari ini Abi memintaku memasak makanan kesukaannya. Sup ayam kampung dengan berbagai sayuran di dalamnya. Dia memang pecinta makanan berkuah. Wangi tumisan bawang dan merica menyeruak ke dalam ruangan. Abi mulai semangat keluar dari kamar. Sambil membaca beberapa dokumen dia sesekali melirikku yang masih asyik menuangkan daging ayam kampung ke dalam kuah.
“Aku nggak nyangka kamu pinter masak juga,” ucapnya sambil membenarkan posisi kacamatanya. Aku hanya membalasnya sambil tersenyum.
Ayah mertuaku hari ini check up ke dokter. Ya, bisa dibilang hari ini aku aman dari omelan Ibu mertuaku. Setelah sibuk menyiapkan nasi dan sayur, aku pamit untuk ganti pakaian. Hari ini adalah wawancara terakhir dengan pihak sekolah. Ternyata rejeki tak akan salah alamat. Salah satu lamaranku ternyata disambut baik oleh sekolah menengah kejuruan di kota ini. Aku sungguh bersemangat, walaupun hanya sebagai staf biasa tapi gajinya cukup lumayan. Setara dengan upah minimum regional. Aku akan berjuang semaksimal mungkin agar tak menjadi beban untuk Abi maupun keluarganya. Walaupun orangtuaku bertanggung jawab dengan biaya kuliahku, tapi ada rasa tak tega menjadi beban mereka. Aku bisa saja meminta uang guna membeli keperluan kuliah, tapi ada rasa malu yang menghinggapi. Bagaimana pun juga aku sudah lepas dari tanggung jawab mereka. Sudah waktunya aku bisa berpijak di atas kakiku sendiri. Ya, bersama Abi tentunya.
Hari ini Abi agak bersikap aneh, dia terlihat mencuri-curi kesempatan untuk menatapku. Tatapan nakalnya semakin membuatku risih. Setelah memakai bros berwarna perak dengan hiasan mutiara sintetis, aku menuju meja makan menghampiri Abi untuk berpamitan.
“Kamu yakin nggak mau diantar?” tanya Abi sambil mengambil air putih di sampingnya.
“Aku nggak mau kamu telat. Aku sudah pesan Go-Jek kok,” jawabku sambil menyodorkan tangan untuk menjalankan ritual yang sudah beberapa hari ini kulakukan. Setelah aku mencium tangannya, tiba-tiba Abi menarik tanganku. Sontak, tubuhku sudah berada di atas pangkuannya. Tanpa pikir panjang Abi mencium bibirku. Ciuman yang lembut dan singkat, tapi mampu membuatku hilang konsentrasi sepanjang pagi. Akhirnya dia dapat merebut ciuman pertamaku. Ya Allah, betapa memerah wajah ini. Tapi, aku tak mampu menolaknya, kan? Apa kata dunia seorang istri enggan dicium suaminya sendiri? Tapi, tetap saja aku belum punya perasaan apa-apa. Hal tersebut membuat hariku penuh dengan kekalutan. Padahal hari ini adalah jadwal wawancaraku dengan pihak sekolah. Untung saja tak memakan waktu lama. Mereka menyukai pemaparanku ketika wawancara berlangsung. Aku pun jujur pada mereka, bahwa aku sudah menikah dan sedang menempuh pendidikan program sarjanaku. Mereka tak memusingkan hal tersebut, malah mereka terbantu. Aku bisa menjadi guru pengganti untuk mata pelajaran yang kosong. Ada dua keuntungan memang bisa mendapatkan pekerjaan di sini. Pertama, aku mendapat uang yang cukup. Kedua, aku tak perlu memusingkan bagaimana kelak aku akan PPL. Aku bisa meminta pihak kampus untuk menempatkanku di sini. Apalagi, aku memang dekat dengan orang-orang rektorat.
Setelah wawancara selesai, aku bersiap untuk pergi ke kampus. Seperti biasa aku dan Anindira sempat berkirim pesan.
Aku : Aku diterima di SMK Dirgantara.
Anindira : Seriously? Good Job my sister. Aku seneng dengernya. Suami kamu ngasih izin?
Aku : Iya, aku tidak mau di rumah terus. Kamu tahu sendiri Ibu Mertuaku seperti apa. Antiknya minta ampun. Rumah harus bersih, masakan harus tersedia, nggak boleh sering makan di luar, nggak boleh ke luar rumah kalau tidak perlu dan terakhir nggak boleh main handphone kalau lagi di ruang keluarga.
Anindira : Hahaha, itulah konsekuensi yang harus kamu terima. Salah satu kekurangan Abi, punya ibu super cerewet.
Aku : Huft, puas ya kamu ngeledekin aku?
Anindira : Nggak ngeledek, ini kenyataan.
Aku : Ah, sudahlah. Mending aku siap-siap kuliah daripada mendengar ledekanmu.
Mata kuliah sore ini membuat mataku tambah ngantuk. Teman-teman sekelasku mulai iseng dengan bully-an mereka. Mereka bilang aku kebanyakanlah, terforsirlah, ngebetlah. Mereka pikir aku tadi malam melakukan apa? Ah, mending aku segera pergi dari kerusuhan mereka. Lama-lama kepalaku pecah mendengar celotehan mereka. Abi menungguku di depan gedung kampus. Mobil berwarna kuning lemon itu sudah terparkir di bawah pohon.
Abi sengaja mengajakku untuk makan malam di luar untuk merayakan keberhasilanku. Dia membawaku ke sebuah tempat makan yang cukup terkenal. Olahan daging menjadi menu andalan mereka. Walaupun hari biasa, pengunjung tak pernah sepi.
Aku belum lama tinggal di kota ini. Ketika awal-awal kuliah, aku tinggal di Boyolali. Waktu SMA aku tinggal di Jakarta. Aku kenal Anindira karena dia pernah tinggal di Jakarta. Hingga akhirnya keluarganya memutuskan pindah ke Solo. Dulu, sebelum menikah tiap hari pegal-pegal karena harus mengendarai sepeda motor Boyolali-Solo. Tapi, sekarang aku bisa naik Go-jek untuk pergi ke kampus. Bisa dibilang jarak tempuh berkurang. Karena, rumah Abi ada di jalan Solo-Semarang.