Biduk Retak

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #5

Single Parent

Sebuah keputusan pasti memiliki konsekuensi yang harus diterima. Baik atau pun buruknya kita harus bisa menerima konsekuensi dari keputusan tersebut. Konsekuensi dari keputusanku menerima Abi sebagai suamiku adalah harus menjadi yang kedua, menjadi orang yang dibandingkan dengan istri pertamanya yang gagal mempertahankan rumah tangganya bersama Abi. Aku tak tahu penyebab biduk rumah tangga mereka yang karam. Terlalu canggung untuk membicarakan hal ini bersama Abi. Aku takut dia tersinggung. 

Berbicara tentang kegagalan, sahabatku sendiri pernah merasakan pahitnya kegagalan. Anindira, dia harus menerima konsekuensi yang harus dihadapi setelah memutuskan bercerai dengan suaminya. Sekarang dia harus berjuang sendirian, menghidupi seorang anak, banting tulang mencari nafkah untuk dirinya dan juga anaknya. Tak bisa dipungkiri dia memang pejuang yang tahan banting. Dia benar-benar memeras keringatnya untuk memberikan yang terbaik untuk putra semata wayangnya. Tapi, seorang anak pasti memiliki sisi manjanya, Florenzo sempat tak menerima harus ikut eyangnya. Hal tersebut yang membuat Anindira sedikit galau. Aku tahu sebenarnya dia begitu rapuh, bagaimana bisa seorang ibu harus berjauhan dengan anaknya? Ibu mana pun pasti tidak mau tidur berjauhan dengan anaknya. Aku pun pasti begitu jikalau sudah memiliki anak.

Malam itu, aku masih menunggu Abi pulang. Tiba-tiba Florenzo menelponku. Dia menggunakan ponsel milik eyangnya.

“Assalamualaikum, ganteng, ada apa, Sayang?”

“Bunda jahat, Tante! Renzo nggak mau tinggal sama Eyang! Bunda Jahat!” pekik Florenzo disertai isak tangis.

“Renzo, Bunda Dira sedang cari uang buat biaya sekolah Renzo. Katanya Renzo mau sekolah tahun depan. Nah, anak baik sekarang Renzo ikut Eyang dulu, ya. Tante akan sering-sering ke rumah Renzo, ya!” bujukku pada anak semata wayang Anindira.

“Renzo nggak mau tidur sama Mbak Angel, Tante! Renzo nggak mau!”

“Hm… Renzo kan bisa tidur sama Eyang kakung, Mbak Angel kan bisa tidur sama ibunya.” Aku menepuk jidatku yang mulai pusing memikirkan jawaban apa lagi yang harus kubuat untuk Renzo. Terdengar isak tangis di seberang sana. Aku tahu hal ini sangat berat untuk mereka berdua. Tapi, keadaan seperti ini harus mereka hadapi.

“Renzo sudah nangisnya?” tanyaku pada Renzo setelah beberapa menit berlalu.

“Pokoknya Bunda jahat!”

“Renzo mau renang, nggak? Mumpung hari Jum’at Tante libur, bagaimana kalau kita renang?” bujukku pada Renzo.

“Mau, Tante!”

“Nah, kalau mau Renzo sekarang bobok dulu, ya! Hari Jum’at Tante jemput dan satu lagi Renzo nggak boleh marah sama Bunda, ya!”

“Ya!” jawab Renzo dengan singkat. Dia menutup panggilannya, ternyata membujuk seorang anak gampang-gampang susah, apalagi anak seperti Renzo. Tak dipungkiri dia anak yang pandai, bisa berpikir lebih dewasa dibanding umurnya. Sungguh Anindira begitu beruntung memiliki anak sepandai Renzo.

“Siapa yang telepon?” tanya Abi sambil berbalik ke arahku. Dia masih menunggu kopi buatanku sembari memandang langit malam di balkon.

“Renzo, anaknya Anindira, Mas.” Kusodorkan cangkir berisi kopi hitam kepada Abi.

“Kamu bisa banget membujuk anak-anak. Kupikir tak masalah memiliki tiga atau empat anak,” ucap Abi dengan enteng. Aku tersedak mendengar ucapan Abi. Anak? Aku belum memikirkan hal tersebut. Apalagi memiliki anak bersama lelaki di depanku ini, entah mengapa pikiranku belum sampai pada hal tersebut. Mungkin karena tugas kuliah yang harus kuselesaikan begitu banyak, hingga tak ada waktu untuk memikirkan hal tersebut.

Abi berjalan ke arahku. Dia memijit-mijit tengkukku sambil tersenyum. Wajahnya kembali mendekat, entah mengapa aku hanya terpaku. Ciuman lembut itu mendarat dengan sempurna di atas bibirku. Senyuman hangat kembali hadir. Detak jantungku semakin tak karuan. Aku berpamitan pada Abi untuk masuk ke dalam kamar. Jujur, aku belum siap dengan semua ini. Tapi, tangan itu meraih tubuhku dengan cepat. Dia memelukku dari belakang.

“Kenapa kamu selalu menghindariku? Bukankah sekarang kita sudah halal?” tanya Abi sedikit lirih. Aku hanya terdiam. Kuberikan waktuku untuknya bersandar seperti itu. Abi mencium rambutku. Sungguh aku benar-benar mengumpati diriku sendiri. Kenapa tubuh ini tak melakukan penolakan sama sekali. Aku benar-benar ingin menjaga jarak dengannya. Tapi, dia gencar menyerangku dengan sentuhan lembutnya.

“Aku capek,” ucapku pada Abi. Perlahan dia melepas tangannya dari pinggangku. Aku segera masuk ke dalam kamar setelah menghabiskan segelas air putih. Saatnya untuk tidur, aku tak mau melakukan suatu di luar nalarku. Abi masih menikmati kopi hitamnya. Pikiranku kalut. Malam itu dering telepon berbunyi, nama Aryasatya muncul di layar ponselku.

Tanpa pikir panjang aku mengangkat panggilan itu. Arya adalah teman kecilku. Dia sekarang bekerja di luar negeri.

Lihat selengkapnya