Biduk Retak

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #6

Mengikhlaskan

Ibarat menaklukkan singa yang buas, begitulah perumpamaan yang cocok untuk mertuaku. Aku tak pernah membayangkan situasi sepelik ini. Jika dulu aku adalah sesosok anak gadis yang selalu dihargai dan diapresiasi setiap tindakannya, sekarang aku hanyalah sosok menantu yang selalu salah. Walaupun aku sudah berbuat sekuat tenaga dan memberikan yang terbaik, hal itu tak bisa membangkitkan rasa peduli mereka padaku. Bagi mereka aku adalah sosok benalu yang menggerogoti harta mereka. Kadang aku berandai-andai, andai saja tak ada masalah antara keluargaku dan keluarga Abi, apakah semua akan berjalan sebagaimana mestinya? Kenapa aku merasa menjadi orang yang tak diharapkan di dalam rumah ini?

Jelas saja aku merasa sakit hati ketika dibandingkan dengan sosok Mbak Sabrina. Kami dua orang yang berbeda. Abi masuk ke dalam kamar sesudah menikmati hidangan yang kusajikan. Dia melihatku menangkupkan wajah ke bantal.

“Sih, kita cari udara segar, yuk!” ajak Abi sambil mengambil bantal yang ada di wajahku. Mataku sembab, Abi merasa bersalah melihat hal itu.

“Mau ke mana?” tanyaku dengan suara sedikit serak.

“Terserah kamu. Hari ini pasti sangat berat, kan?”                

Aku mengangguk. Tak bisa kupungkiri hari ini memang cukup berat. Cibiran dari Ibu mertuaku membuat hatiku panas. Apalagi tiap kali dia membandingkanku dengan Mbak Sabrina. Tentu, aku jadi sakit hati.

Malam itu kami menghabiskan waktu berjalan-jalan di taman kota. Abi meraih tanganku. Lelaki itu mengucap kata maaf berulang kali.

“Kenapa sih kamu malah nikah sama aku? Kenapa kamu nggak rujuk saja sama Mbak Sabrina? Tentu Ibu akan senang kalau kamu rujuk sama dia!” ucapku sedikit kesal.

“Sih, pilihanku adalah kamu. Memang Sabrina pernah ada dalam hatiku, dia pernah menghiasi hari-hariku. Tapi, itu masa lalu!”

“Ibumu masih mengharapkan kamu kembali pada Mbak Sabrina, Mas! Sepertinya aku hanya datang sebagai pengganggu,” ucapku sambil tertawa getir.

“Sih!”

Aku hanya menangkupkan wajahku dengan kedua tanganku. Sungguh hati ini sebenarnya tidak ingin menjalani kehidupan seperti ini. Aku akan menerima segala keputusan Abi. Mumpung semua belum terlambat dan luka di hatiku belum terlalu dalam.  Kami berdua hanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang nampak tak membuat kami beranjak dari tempat itu. Hingga tangan Abi meraih tanganku. Dia meletakkan tanganku ke dada sebelah kirinya. Kurasakan debar jantungnya yang begitu kentara.

“Kamu bisa merasakan sendiri, kan?” tanya Abi sambil menatap mataku. Aku hanya terdiam tak bisa berkata-kata. Aku tak tahu debaran apa yang dia rasakan. Cinta, nafsu atau apa? Semua masih terasa absurd di dalam otakku. Dia masih menggenggam tanganku. Sesekali dia mencium punggung tangan kananku.

“Apa kamu masih berpikir bahwa aku masih mengharapkan kehadiran Sabrina?” tanya Abi sambil menatap langit yang berhias rembulan berbentuk sabit.

“Aku menghormatinya sebagai ibu dari anakku. Tapi, aku nggak bisa hidup dengan orang yang ingin mengatur prinsip hidupku.” Mata Abi masih mendongak ke atas, sedangkan tangannya masih menggenggam tangan kananku.

“Bagaimana kalau aku juga melakukan hal itu?” sergahku mengalihkan pandangannya.

“Aku tahu sifatmu seperti apa. Tak mungkin aku memilih kucing dalam karung. Aku memilihmu dengan proses yang cukup panjang dan pertimbangan yang cukup matang. Hah… mungkin kamu belum mendapatkan hati ibuku, tapi kamu harus tahu. Hatiku sudah menjadi milikmu.”

Wajahku memerah saat mendengar ucapan Abi. Tak kusangka dia mampu mengucapkan kata-kata seperti itu. Seiring waktu berjalan suasana malam semakin sepi. Kami memutuskan untuk mencari makan malam sebelum pulang ke rumah. Abi merasa kasihan padaku karena dari tadi siang perutku belum terisi makanan apa pun. Sesampainya rumah, kami memutuskan untuk beristirahat. Bisa dibilang Abi tipikal lelaki yang mampu menahan hasratnya dan tak mau memaksakan kehendak. Malam ini kami hanya menghabiskan malam dengan tidur.

Beberapa hari kemudian, aku mulai bisa menyesuaikan kondisi keluarga Abi. Tentang kebiasaan, kesukaan dan pantangan keluarga itu sudah kuketahui. Walaupun masih sinis padaku, tapi aku cukup senang ketika bapak mertuaku memuji masakanku. Dia juga menasehatiku untuk tetap sabar menghadapi ibu mertuaku yang terkenal keras kepala dan juga gampang berkata kasar. Bisa dibilang dia seperti penyejuk bagiku. Karakternya sangat bertolak belakang dengan istrinya. Mungkin inilah yang disebut dengan jodoh yang saling melengkapi.

Aku sudah mulai akrab dengan rekan-rekan di kantor. Beberapa di antara mereka kerap meminta bantuanku untuk mengerjakan tugas yang tak bisa mereka kuasai di bidang IT. Beberapa guru laki-laki kadang juga menggodaku. Beberapa di antara mereka belum tahu bahwa statusku tak lagi lajang.

“Bu Kasih,” panggil salah satu dari mereka saat aku lewat.

“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” jawabku dengan sopan.

“Bu Kasih ini suka meracuni orang, ya?”

Lihat selengkapnya