Biduk Retak

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #7

Bagian 7 : Menyerahkan Diri

Abi sebenarnya tak mempermasalahkan kedekatanku dengan keluarga Anindira. Apalagi dengan Renzo. Menurut Abi aku bisa belajar mendidik anak dari sosok Renzo. Abi membelikanku beberapa buku parenting sebagai modal untuk mendidik anak-anak kami dan Abi juga mengizinkan aku untuk mempraktekkannya pada Renzo. Anak Dira yang sudah kuanggap anakku juga. Aku sangat sayang padanya. Sangat sedih saat tak bisa menepati janjiku padanya. Jum’at pagi, aku bersiap-siap ke pasar untuk membeli buah tangan yang akan kami bawa ke acara silaturahim keluarga besar.

Ibu mertuaku masih tetap memperlakukan aku seperti budak di rumah ini. Setiap hari aku harus bangun paling awal untuk mengerjakan tugas rumah. Jika ada kekurangan dalam pekerjaan yang kulakukan, tak jarang suaranya akan naik beberapa tingkat. Lama-lama sisi lainku tidak terima dengan perlakuannya. Di rumah ini aku juga mempunyai kontribusi. Akulah yang menyiapkan keperluan dapur di rumah ini. Tetapi, hal tersebut tak bisa membuka hati ibu mertuaku. Dia tetap saja membenciku. Setidaknya dengan keluar rumah aku bisa menghindari rasa sesak yang terus mencengkeram di dalam rumah ini. Baiti jannati, rumahku surgaku nampaknya kata itu sangat jauh dari situasi rumah ini.

“Kamu yakin mau naik motor?” tanya Abi saat menyerahkan kunci motornya.

“Iya, lagian aku nggak mau merepotkanmu terus. Apalagi kondisi proyekmu sudah cukup jauh dari kampus dan kantorku.” Tanganku meraih kunci dengan hiasan gantungan berbentuk ukiran kayu. Tatapan Abi tampak kecewa. Aku bisa melihat sorot matanya yang tak mau melepas aku pergi sendiri.

“Ka,” panggil Abi saat aku memanasi sepeda motor.

“Ya, Mas. Ada apa lagi?” tanyaku sambil memakai helm.

“Nggak apa-apa. Jaga diri baik-baik,” ucap Abi dengan nada datar.

Aku mengangguk dan segera memacu sepeda motor kesayangan Abi. Sebenarnya aku ingin membawa sepeda motor milik keluargaku, tapi Abi menolaknya. Dia ingin menyediakan semua fasilitas yang dimilikinya untuk kugunakan.

Pagi ini aku mampir ke pasar terlebih dahulu untuk membeli buah-buahan yang akan kubawa sebagai buah tangan. Pikiranku masih melayang pada Abi, kenapa ia sangat dingin akhir-akhir ini? Apakah aku melakukan kesalahan. Ah entahlah. Mungkin lebih baik nanti saja aku minta maaf padanya. Salah tidak salah yang penting aku minta maaf.

Siang harinya aku mempersiapkan diri. Baju gamis berwarna mocca sudah kusiapkan dengan jilbab warna senada. Baju koko milik Abi juga sudah siap. Aku tinggal mandi dan menunggu Abi pulang dari masjid. Hari ini memang Abi izin pulang lebih cepat karena acara ini. Kunikmati setiap tetes air yang mengalir sambil membersihkan semua bagian badanku. Karena terlalu sibuk di dalam kamar mandi, aku tak sadar Abi sudah pulang dari masjid dan sedang tiduran di ranjang. Dengan percaya diri aku keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk saja. Abi beranjak dari ranjang sambil memandangku. Aku baru sadar saat menutup pintu kamar mandi.

“Hah!” ucapku kaget. Spontan aku memegang handukku dan berusaha meraih kimono yang ada di dalam kamar mandi.

“Kamu kenapa sih? Aku kan suamimu!” Abi berdiri sambil berjalan ke arahku. Hari ini dia berubah menjadi sosok kucing kecil yang manis. Aku tak bisa mengelak bahwa sosok Abi sangat rupawan dan membuat jantungku hampir copot saat ia mendekatiku. Tangannya menengadah seakan sedang berdoa. Saat itulah aku melakukannya untuk pertama kali. Sosok kucing yang manis itu berubah seperti singa buas yang sedang memangsaku. Setelah selesai melakukannya, kami berdua sama-sama membersihkan diri. Beberapa kali Abi mengucapkan terima kasih padaku saat aku bersiap-siap mengenakan jilbab. Aku hanya tersenyum padanya.

Kami berdua keluar dari kamar, ternyata kedua mertuaku sudah menunggu di ruang tamu.

“Kalian lama sekali! Ini sudah jam berapa?” sungut ibu mertuaku.

Lihat selengkapnya