Tinggal di rumah yang bagus dan berada dalam lingkungan keluarga terpandang belum menjamin rasa tentram hadir di keseharianku. Setiap hari kondisi hatiku selalu naik turun. Memang benar kata orang-orang, kehidupan pernikahan itu tidak mudah apalagi menyatukan semua perbedaan yang sangat signifikan. Seperti air dan minyak yang tak bisa menyatu, begitulah cara berpikir diriku dan ibu mertuaku. Ada saja hal-hal yang bisa memantik konflik di antara kami.
Salah satunya masalah Renzo, demamnya terlalu tinggi hingga orangtua Dira memintaku untuk mengantar ke pelayanan kesehatan. Abi memasang muka masam padaku setibanya di rumah. Malam itu cuaca benar-benar tidak bersahabat, hujan dan angin serta petir menyambar-nyambar. Badanku basah kuyup walaupun sudah memakai jas hujan.
“Apa perlu kamu seperti ini!” ucap Abi sambil menyilangkan kedua tangannya. Aku meliriknya sambil melepas jas hujan berwarna hitam di tubuhku.
“Kamu dengar nggak sih!” bentaknya.
Aku menjemur jas hujan di sepeda motorku. Sembari mengibas-ngibaskan rokku yang basah, aku menghela nafas panjang.
“Aku tetap akan menolong mereka meskipun kamu menentangnya, Mas! Renzo sakit, kami membawanya ke rumah sakit. Kalau ada apa-apa dengan Renzo, kamu nggak akan tahu seberapa besar penyesalan yang kusimpan!” Aku segera masuk ke dalam rumah. Rasanya benar-benar kecewa dengan Abi. Diagnosis dokter di Puskesmas tadi Renzo terjangkit demam berdarah. Trombositnya benar-benar turun dan suhu badannya sangat tinggi. Bagaimana bisa aku berdiam diri ketika melihat anak Dira dalam kondisi ini? Ini masalah nyawa seorang anak. Rumah sakit adalah tempat yang tempat untuk Renzo saat ini.
Di dalam rumah, aku disambut wajah kusut ibu mertuaku. Meja makan kami tampak masih kosong, tak ada makanan sama sekali. Tatapan wajahnya sudah bisa kubaca, seakan-akan dia mengintimidasiku tanpa perlu berkata-kata. Perlahan aku memasuki dapur dan melanjutkan memproses bahan makanan yang sudah kusiapkan. Abi bergabung dengan ibunya duduk di sebelah dapur. Aku fokus mengolah sayuran dan lauk yang sudah siap digoreng. Dua tungku kompor menyala bersamaan. Aroma bumbu menguar menyeruak hidungku dengan kondisi baju yang masih basah membungkus tubuhku. Di luar sana hujan masih deras. Pikiranku menerawang menembus ruang dan waktu, mengulang pembicaraanku dengan ibunya Dira.
“Nduk Kasih, tolong jangan kasih tahu Dira kalau Renzo kita bawa ke rumah sakit, Ibu takut dia kehilangan fokus dalam menghadapi pekerjaannya. Kasihan dia harus menjadi tulang punggung untuk keluarga kami,” ucapnya sambil mengompres kening cucunya dengan handuk basah.
“Iya, Mbah. Sekarang fokus ke Renzo saja.”
Tak bisa kupungkiri beban di pundak Dira sangat berat, berjuang membesarkan anaknya sendirian dan juga membantu kebutuhan orang tuanya yang sudah lanjut usia. Hal inilah yang membuatku memutuskan untuk bekerja. Aku sudah melihat banyak sekali kasus wanita berubah fungsinya karena keadaan. Tulung rusuk yang harus menjadi tulang punggung. Aku menyesali keputusanku kemarin. Jika saja kemarin aku segera mengiyakan permintaan Dira, tentu kondisi Renzo akan segera ditangani di tangan yang tepat.
Tanganku mengolak-alik ayam ungkep yang masuk ke penggorengan. Aroma bumbu rempah-rempah menyentuh indera penciumanku. Sayur bayam sudah matang di atas salah satu tungku. Aku segera mengambil mangkok sayur dan menyiapkannya beserta ayam dan sambal sisa sarapan tadi pagi. Tak ada ucapan terima kasih dari mulut mereka. Aku pun sudah terbiasa dengan hal ini. Mungkin pantang bagi orang seperti mereka mengucapkan terima kasih pada orang sepertiku. Tampaknya mereka benar-benar kelaparan, semua makanan yang kusediakan langsung tak bersisa. Bahkan untuk diriku sendiri saja tak ada sisa sama sekali. Sembari memunguti piring kotor, aku menengok isi kulkas. Beruntung masih ada apel di dalamnya. Malam ini cukup sebutir apel mengganjal perutku.
Setelah mengganti pakaian, aku segera bergegas menuju kamar. Kulihat Abi tak ada di dalam kamar kami. Kutengok dari balik pintu, ternyata dia menonton TV di ruang keluarga. Sebenarnya ini adalah pertengkaran pertama kami. Aku berlindung di balik selimut untuk menghangatkan diri. Pikiranku masih tertuju pada Renzo. Hembusan nafas panjang keluar dari mulutku beberapa kali.
“Kamu sudah melakukan hal yang tepat, Sih! Nggak apa-apa, semua akan baik-baik saja!” ucapku menyemangati diri sendiri.