Langit berbalut gelap dengan cahaya purnama yang terang menemani langkah kakiku yang terpaksa untuk pulang ke rumah. Indera pendengaranku penuh dengan bermacam-macam suara dari setiap rumah yang kulalui. Tawa riang sepasang suami istri, tangisan dan rengekan balita, dan juga suara lantunan ayat suci yang lamat-lamat terdengar sangat indah. Aku tersenyum getir sambil menertawakan hidupku yang seperti ini. Semua di luar ekspektasiku. Konsekuensi yang sangat berat harus kutanggung sendiri. Bahkan aku merasa sendirian, tak ada yang bisa menolongku selain diriku sendiri. Semua orang sedang sibuk dengan masalah mereka. Tentu saja, aku harus berdiri sendiri memikul masalahku sendiri. Dunia harus berputar dan aku tak mau menjadi salah satu pecundang yang lari dari masalah.
Sambil menghela nafas dalam-dalam kusiapkan hatiku untuk menghadapi penghuni rumah. Keluarga? Entahlah bisakah kusebut mereka dengan nama keluarga, sedangkan mereka tak pernah menganggapku sebagai keluarga mereka. Aku hanyalah orang asing yang mengganggu kehidupan mereka. Rasa laparku menuntunku ke dapur, tanpa pikir panjang aku mengambil satu sendok nasi dan sayur.
“Enak banget ya! Yang muda pulang-pulang langsung makan!” gertak ibu mertuaku saat aku baru saja menyuapkan satu suap nasi ke dalam mulutku. Rasa laparku menguap. Mulutku seakan terkunci, aku mengingat semua keakraban ibu mertuaku dengan Sabrina.
“Kasih baru pulang to, Bu! Kamu jangan kayak gitu. Apa susahnya sekali-sekali memasak buat keluarga. Kemarin-kemarin Kasih juga masak untuk kita,” sahut bapak mertuaku.
“Halah! Masakannya juga tidak enak! Masih enakan masakanku! Kamu itu Pak! Kamu mau belain anak urakan ini!”
Aku langsung mengangkat piringku dan membuang makanan ke dalam tempat sampah. Rasanya dadaku benar-benar teriris. Jantungku berdegup kencang penuh dengan emosi. Pertengkaran mertuaku membuatku merasa menjadi duri di dalam keluarga ini.
“Sudah, Pak. Jangan bela saya, saya salah. Besok lagi saya tidak akan mengambil makanan keluarga ini!” ucapku sambil membersihkan piring bekas makanan yang belum sempat kumakan.
“Sih, kamu jangan gitu, Nduk!” bela Bapak mertuaku.
“Kamu masih membela mantumu yang tidak tahu diri ini!” bentak ibu mertuaku. Aku menaruh piring dengan sangat kasar. Rasa muak perlahan menjamah sisi keras kepalaku. Mantu tak tahu diri, ternyata ibu mertuaku memandangku seperti itu selama ini. Kulihat Abi keluar dari kamar ketika mendengar suara ibunya semakin meninggi. Tanpa kupedulikan kehadirannya, aku masuk ke dalam kamar. Terdengar suara mereka masih saling menyerang satu sama lain. Termasuk mengkritik keputusan Abi menikahiku. Sebagai pelampiasan, aku segera membuka laptop dan mengerjakan skripsiku. Kuambil headphone yang tergeletak di nakas. Lagu-lagu kesukaanku mengalun di telingaku, setidaknya tak ada perkataan buruk yang bisa kudengar dari pertengkaran mereka bertiga. Abi masuk ke dalam kamar, dia duduk di sampingku.
“Apa perlu kamu seperti ini?” tak kugubris perkataannya. Jemariku masih menari di atas keyboard. Dengan kasar dia melepas headphone-ku.