Biduk Retak

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #10

Bagian 10 : Dua Garis

Kondisi rumah yang kacau ini bertambah parah dengan perang dingin yang terjadi antara aku dan Abi. Walaupun aku diam, tapi semua kebutuhannya tetap kupersiapkan dengan baik. Aku tetap memasak makanan kesukaannya, tetap menyiapkan segala perlengkapan bekerjanya dan juga tetap tidur di satu ranjang yang sama. Hanya saja, aku memilih diam. Seperti adu mekanik, kami terlalu gengsi untuk memulai pembicaraan. Hingga suatu pagi terjadi kehebohan di kamar mandi yang membuatnya bersuara. Sebelum subuh, seperti biasanya aku mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat taubat, sholat tahajud dan sholat hajat. Perutku tiba-tiba mual dan di kamar mandi aku muntah-muntah tak karuan. Semua yang ada di perutku keluar, hingga cairan berwarna kuning pun turut ikut keluar dengan diiringi getir pahit yang sangat membuatku meringis.

Abi berlari padaku. Dia memperhatikanku yang sedang mencuci mulutku dengan air di wastafel. Tak selang beberapa lama dia membawa sebuah benda di tangannya. Sebuah barang yang baru pertama kali kupegang. Ya, dia menyodorkan sebuah alat tes kehamilan. Abi mengodeku untuk segera menggunakannya. Aku menghela nafas panjang. Pikiranku kacau, sejak kapan Abi mempersiapkan alat ini? Perlahan kubuka alat tersebut dan mencelupkan ke cairan urinku sambil menutup mata. Aku takut untuk melihatnya, sepertinya aku belum bisa menerima jika aku harus hamil. Kuliahku belum selesai dan kondisi hubunganku dengan Abi bisa dibilang tidak cukup harmonis. Kubuka mataku perlahan-lahan, nampak dua buah garis berwarna merah ada di alat tersebut. Seketika tubuhku lemas, inikah jawaban dari Tuhan. Kemarin aku menantang Abi untuk mengakhiri pernikahan kami, tapi Dia menitipkan calon manusia di dalam perutku. Aku memegangi perutku, Abi menyusulku ke dalam kamar mandi. Dia memperhatikan alat yang kutaruh di atas wastafel. Raut wajahnya yang tadi panik, seketika tampak cerah dengan senyum mengembang di wajahnya.

“Ka, kita periksa ke dokter,” ucapnya padaku. Aku tak menjawab ucapannya. Lelaki itu memelukku yang sesenggukan. Kutampis pelukan itu.

“Ka…?”

“Kamu pikir kita perlu merayakan ini? Nggak? Kamu nggak memikirkan aku esok hari harus bagaimana? Kuliahku, kerjaanku? Aku belum siap!” pekikku di hadapannya.

“Kasih, aku minta maaf jika kemarin terlalu meninggalkan kamu sendirian. Tapi, bisakah kita perbaiki, demi anak di dalam perutmu.” Abi memegang pundakku sambil menatap wajahku dalam-dalam. Tangisanku pecah. Sungguh rasanya aku belum bisa menerima rejeki ini. Aku takut belum bisa menjadi sosok ibu yang baik untuk anakku. Ketika semua impianku belum terwujud. Aku terlalu takut akan menjadi sosok ibu yang egois bagi anakku. Bukannya aku kufur dengan kehadiran anak ini. Tapi, ada yang mengganjal dalam hatiku. Ketakutan serta keresahan yang tiba-tiba hadir. Dia membiarkanku menangis seakan memberikan ruang bagi diriku sendiri untuk meluapkan semuanya lewat tangisanku. Sambil memperhatikan aku yang masih menangis Abi bersandar di depan pintu. Lelaki itu masih memperhatikanku yang masih menata nafas dengan perlahan.

“Kasih… ”, sapa Abi dengan lembut.

Aku tak menggubris panggilannya. Langkah kakiku menuju tempat wudhu. Lebih baik aku segera sholat agar hatiku menjadi tenang. Secepat ini Allah menitipkan amanah padaku. Air mataku jatuh tak tertahan saat sujud terakhirku. Segala kegundahan dan ketakutanku semua tumpah bersamaan dengan isak tangisku. Abi memperhatikanku dari atas ranjang. Setelah aku mengucap salam, barulah dia mendekatiku. Dia duduk disampingku dan mencoba meraih tanganku.

“Maaf kalau kamu harus terlalu cepat menerima semua ini. Tapi, Ka… dia anakku. Tolong kamu jaga dia baik-baik.” Mataku memerah mendengarkan perkataan Abi. Di saat seperti ini dia masih tetap saja memikirkan dirinya sendiri. Seakan-akan baginya aku hanyalah seorang mesin pembuat anak. Entah mengapa hatiku benar-benar sesakit ini. Apakah aku terlalu tinggi menaruh harapan kepadanya? Usahaku untuk belajar mencintai dan menerimanya seakan menguap begitu saja. Tak ada balasan yang keluar dari mulutku. Pikiranku lebih kacau dari yang terlihat dari luar. Abi meninggalkanku sendirian, padahal aku berharap dia akan memberikan perhatian kecil disaat seperti ini. Setidaknya segelas air saja mungkin bisa membuatku membaik. Sosok lain di dalam diriku menertawakan kebodohanku. Apa yang harus diharapkan darinya?

Keesokan harinya aku izin tidak berangkat kerja karena kondisi perutku yang masih saja mual. Setelah sarapan makanan yang masuk ke dalam perutku langsung keluar. Hal itu yang membuatku memutuskan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Tentu saja tanpa Abi. Dia sudah berangkat ke tempatnya bekerja. Sepanjang perjalanan pikiranku sibuk dengan rencana hidupku bersama bayi di dalam perutku. Kurangkai satu demi satu apa saja yang akan kulakukan bersamanya. Setidaknya walaupun aku syok dengan kehamilanku ini, tapi aku masih mempunyai rasa tanggung jawab. Aku harus memberikan yang terbaik untuk anak ini. Sesampainya di rumah sakit aku segera masuk ke ruang pendaftaran. Mungkin karena terlalu banyak pikiran, aku tak memperhatikan jalan di depanku. Tanpa sengaja aku menabrak sesosok pria di hadapanku. Badanku hampir jatuh, tapi dengan sigap tangan pria itu menangkap badanku.

“Sih, kamu nggak apa-apa?” tanya pria itu. Sontak aku melihat ke arah wajahnya. Ternyata pria itu adalah Arya. Aku tak menyangka bisa bertemu dengannya di rumah sakit ini. Kulihat pakaiannya, ternyata dia memakai jas warna putih yang membuatnya tampak sangat berbeda dengan sosoknya yang kukenal beberapa tahun yang lalu.

“Arya?” sapaku memastikan bahwa dia adalah Arya yang kukenal. Lelaki dengan lesung pipi itu membantuku untuk berdiri menyeimbangkan tubuhku.

“Iya, Kasih. Ini aku, Arya. Kamu kenapa di sini?” tanyanya sambil mengamati tanganku yang membawa nomor pendaftaran.

“Ah… hehehe, aku mau periksa.”

“Kamu sakit?” tanyanya sedikit khawatir.

“Ah, hehehe, nggak. Kamu kerja di sini?”

Lihat selengkapnya