Berbanding terbalik kondisi keseharianku di rumah, di sekolah ini aku sangat bahagia. Aku sangat menyukai pekerjaanku. Berbaur dengan siswa-siswa remaja yang masih layaknya adikku. Dengan tingkah guru-guru yang beraneka ragam membuat beban pikiranku terhambur lepas.
“Mbak Kasih, aku buat somay kesukaan Mbak Kasih. Kalau mau ke basecamp saja,” ucap Kang Wahid, CS di sekolah ini. Mataku berbinar. Dengan senyum merekah kubalas undangannya dengan ucapan terima kasih. Basecamp yang ia maksud adalah dapur sekolah yang terletak di sudut sekolah. Di depan dapur kecil itu dihias dengan kursi-kursi hasil karya Kang Wahid dan Kang Imam, serta Kang Antok. Ketiga CS ini menjadi trio yang menjadi ujung tombak kebersihan di sekolah ini. Ketiganya juga suka memasak dan aku adalah tukang cicip hasil masakan mereka.
Setelah menyelesaikan pekerjaanku yang menumpuk, langkah kakiku menarikku ke basecamp. Sebuah panci ukuran sedang penuh dengan somay menggebul nampak di tengah-tengah meja. Bau khas dari bumbu yang dicampurkan ke dalam adonan menyeruak ke dalam hidungku. Kulihat sudah ada Dita yang duduk sambil menusuk-nusuk somay di hadapannya. Tiga buah somay masuk ke tusuk sate di tangannya. Guru muda itu sangat menikmati hasil karya bujang-bujang penghuni basecamp ini. Aku tersenyum melihatnya.
“Yu Kasih!” tangan kanannya mengambil sebuah tusuk sate dan menyodorkan kepadaku.
“Terima kasih, tahu aja kalau aku lapar. Hmmm… ada inovasi apa lagi nih?” tanyaku penasaran.
“Yang besar itu ada ranjaunya. Ambil minum dulu kalau mau nyobain,” sahut Kang Imam yang sedang duduk di gazebo sambil menikmati kopi hitamnya.
“Hmm, baiklah!” tanganku mengambil gelas dan menuang air putih dari dispenser yang berdiri di sudut depan dapur. Ya, dapur ini adalah tempat persembunyian anak-anak muda di sekolah ini. Ada dua guru yang sepantaran denganku, Namanya Anindita dan Usman. Ketiga CS yang dikenal dengan trio upin ipin ini juga masih sepantaran denganku. Umur kami hanya selisih 2-3 tahun saja. Sekolah ini menjadi rumah yang sangat nyaman untukku. Setidaknya semua beban terasa ringan ketika bersama mereka. Mereka layaknya saudara bagiku yang sudah dari dulu berjauhan dengan saudara kandungku.
Kang Antok keluar dari kamar kecil yang menjadi tempat istirahat mereka di dapur itu. Di tangannya ada seekor anak kucing berwarna hitam putih. Kang Antok memang memiliki hewan kesayangan yang sama denganku. Tak heran jika kami membicarakan tentang kucing pasti akan nyambung. Ada tiga ekor kucing di sekolah ini. Satu induk dengan dua anak manis berwarna hitam putih, salah satunya yang dipegang oleh Kang Antok.
“Sih, jadi mbok adopsi nggak?” tanya Kang Antok padaku.
“Hmm… nggak, malah perang dunia ntar di rumah. Boleh kupelihara di sini aja? Gimana? Kalau makanannya habis, bilang aja. Ntar tak beliin.” usulku pada Kang Antok.