Alunan akustik lembut mengarus masuk menyapa setiap gendang telinga. Juntain sulur-sulur kabel dengan ratusan titik bola lampu mungil menggantung ranum, silih bersilang merambati kisi baja berbentuk kubah yang menaungi hamparan pelataran sebuah kafe outdoor. Selusin meja bertaburan di segala penjuru, terbungkus sempurna dalam carik-carik kain berpola catur. Semuanya penuh terisi. Sabtu malam kerap menjadi malam tersibuk dalam seminggu.
Di meja nomor 9, seorang laki-laki duduk gelisah. Pandangannya kerap kali tertangkap basah memeriksa area parkir. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan tiga puluh satu. Setengah jam lalu seharusnya tamu yang ia tunggu sudah tiba.
Untuk kali kesekian, seorang pramusaji datang menghampiri dengan folder kulit berisi daftar menu siaga di satu tangan. “Sudah mau pesan, Pak?”
“Nanti dulu, masih nunggu orang,” lelaki itu menyahut tanpa repot-repot menoleh. Saat ini perutnya tengah dihuni letupan kembang api hingga tak mungkin diisi apa pun.
“Mau pesan minum dulu, barangkali?” pramusaji itu kembali menawarkan. Ia seperti mulai curiga kalau pelanggan satu ini hanya datang demi layanan internet gratis.
Tepat sebelum menjawab, pandangan si lelaki menumbuk sedan hitam yang baru menyelip masuk ke samping mobilnya. Tanpa mengecek dua kali, ia sudah yakin penantiannya usai saat itu juga.
“Nanti kalau mau pesan, saya panggil, oke?” Pengusiran yang tersirat dalam suaranya terbungkus rapi rasa gairah berpadu gugup. Cepat-cepat ia memeriksa penampilan sekali lagi; rambutnya masih aman diselimuti gel, kemeja abu-abu masih wangi dan rapi, baru keluar laundry petang tadi, napasnya masih beraroma lemon hasil mengunyah tiga potong permen karet sepanjang perjalanan ke sini. Semua sempurna tak bercela. Terakhir, ia meraba saku kemeja, memastikan tonjolan itu masih di sana.
***
Memanfaatkan kaca spion, sekali lagi Gita memulas kedua potong bibirnya dengan gincu merah jambu. Sepanjang perjalanan tadi ia merasa gugup. Tak biasanya Romi, kekasihnya, mengajak bertemu langsung di kafe alih-alih menjemput ke rumah. Dalam kepala Gita sibuk memutar rekaman pertemuan terakhir mereka, menyelidiki di mana kesalahan yang ia perbuat. Hasilnya nihil.
Selepas puas dengan pantulan cermin, ia melangkah keluar mobil. Semilir angin malam yang ringan menyapu hela-helai anak rambut hingga menggelitik tulang pipi. Sembari berpegang teguh pada tali tas bahu, Gita berjalan meninggalkan area parkir.
Tempat itu senantiasa ramai. Namun entah bagaimana Romi selalu berhasil mendapatkan meja strategis dekat kolam ikan kecil dengan lembaran daun teratai mengapung di atasnya. Pendar butir-butir lampu kecil yang menggantungi untaian kabel kerap membuat wajah pemuda itu kian memesona. Tak heran kalau Gita mempertahankan hubungan mereka lebih dari dua tahun lamanya.
Begitu melihat Gita mendekat, Romi bangkit dari tempat duduk. Pembawannya yang biasa santai, malam ini diliputi kekakuan serta rasa canggung kentara. Bahkan dari pilihan busana yang dikenakannya, Gita bisa tahu ada hal tersembunyi dalam diri kekasihnya malam ini.
“Sori, telat,” ucap Gita sambil duduk. Romi melakukan hal serupa, “jalan yang biasa kita ambil ditutup. Jadi aku harus putar arah.”
“Enggak apa-apa,” sambut Romi. Seutas senyum hadir di sana. Canggung dan malu-malu. Bahkan kencan pertama mereka tidak sekaku ini.
“Kamu belum pesan?” tanya Gita basa-basi. Entah kapan kesempatan untuk mengutarakan pertanyaan bisa ia jemput.
“Tunggu kamu.” Sigap, Romi melambai pada pramusaji yang sedari tadi bolak-balik ke mejanya. Begitu sepasang folder menu sudah di tangan, ia bertanya, “Mau pesan apa?”
Gita melempar pandangan heran. Sudah ratusan kali mereka makan di sini. Dan selama ratusan kali itu Gita tak pernah memilih menu lain. “Kayak biasa saja.”
“Steak wagyu sama milkshake stroberi dua,” kata Romi sembari mengembalikan folder menu yang belum sempat ia lihat. Begitu pramusaji itu berlalu, kembali keduanya dilanda rasa canggung.
Gita tak hanya mencium keganjilan dalam sikap Romi malam ini, namun juga semerbak aroma parfum berbeda dari yang biasa ia pakai. “Parfum kamu ganti?”
Spontan Romi mengangkat satu tangannya, kemudian mengendus lipatan ketiak. “Oh, iya. Kemarin dikasih tanteku dari Albuquerque. Suka?”
Kembali Gita menghidu udara. Penciumannya merekam jejak aroma sage yang disentil lembut oleh vanilla serta esensi magnolia. “Parfummu yang lama kenapa? Habis?”