Ia benar-benar mual, pandangan matanya berkunang, kepalanya terasa berat lalu Indy duduk begitu saja di tanah rerumputan tanpa beralaskan.
Setengah jam yang lalu ia masuk ke supermarket lalu asal mengambil minuman kaleng dan meneguk tanpa sisa, alhasil Indy jadi mabuk. Setelah beberapa waktu mati-matian belajar hingga larut malam, sediki tidur dan lupa makan ia sedikit linglung tanpa jeli mengambil minuman kaleng beralkohol itu.
Ia pulang naik taksi online yang di pesan salah seorang sahabatnya tapi karena mabuk ia tanpa sadar malah minta turun di taman perumahan yang jaraknya masih ratusan meter dari rumahnya, Indy kebingungan ponselnya juga mati, suasana malam yang hening Indy berusaha bangkit tapi tetap tersungkur lagi.
"Oh Daddy help,"
Rintihan Indy terdengar oleh seorang pemuda yang hendak masuk rumah, pemuda itu penasaran akhirnya menghampiri dan ia tercengang bahwa gadis yang merintih itu sahabat, Indyra.
"Indy, what happen?" Tanya Arsen keheranan.
"Arsen lo disini?" Pertanyaan di balas pertanyaan.
"Lo kenapa Indy?"
Arsen, pemuda itu mengendus bau alkohol dari mulut Indy, membuatnya paham situasi.
"Lo habis minum?"
"Aku tidak minum, aku tidak makan aku sangat kelaparan Arsen," Arsen kembali tercengang oleh keluhan gadis itu.
"Terus lo mau kemana?"
"Aku mau pulang Arsen, tapi mengapa rumahku menghilang,"
Indy menunjuk nunjuk arah depan dan samping kebingungan, tak salah lagi gadis ini mabuk pikir Arsen. Tetangga sekaligus sahabatnya, si gadis manis calon Dokter tapi entah apa yang terjadi hingga ia mabuk, ini pertama kali juga ia mendapati Indy mabuk.
"Kau mabuk Indy,"
"Mana mungkin aku mabuk, Ayah bisa menebas leherku jika aku mabuk,"
Arsen menggeleng, percuma mana ada orang mabuk sadar dirinya mabuk.
"Oke, kalau begitu ayo aku antar kamu pulang," berusaha menarik Indy berdiri tapi sahabatnya terlihat sulit menopang diri, hingga ia berbalik badan memunggungi Indy.
"Kamu sulit ya untuk jalan, baiklah aku menggendongmu, naik ke punggungku" tawar Arsen.
Indy membentangkan tangan ke depan hendak melakukan sesuai arahan Arsel, tapi ia kembali duduk berselonjor dan menangis, Arsel termangu.
"Aku tidak mau di gendong olehmu," sesegukan.
"Kenapa? Aku nggak bakal macam-macam Indyra."
"Lo bisa merasainya dan mengejekku nanti,"
"Apa sih aku nggak ngerti Indy?"
"Aku nggak punya,"
"Apa?" Arsen sedikit frustasi menghadapi sahabatnya yang berkelakuan tak biasa.
"Usiaku 21 tahun tapi aku masih sangat rata, aku nggak punya, aku memakai cup ukuran S tapi itu masih longgar," tangisnya menjadi.