Indy masuk ke kamar Saga kebetulan Saga tengah merapikan peralatan makeup di beauty case.
"Gue tebak lo ikut ajang tata rias." Ucapnya tiba-tiba lalu duduk di bed, Saga tau tujuan Kakaknya menyambagi.
Saga menempelkan ibu jarinya ke mulut.
"Pamali kalau ikut lomba terus koar-koar." Ujar Saga menanggapi.
"Bener kan Ga?"
Sekali lagi Saga menempelkan ibu jarinya.
"Udah kayak profesional amat tuh, biasanya cuma bag kosmetik mini." Ucap Indy memerhatikan peralatan makeup adiknya.
Saga meletakkan beauty case di bed lalu memakaikan bandana di kepala Indy, dan mulai meriasnya.
"Ga, bener kan tebakan gue?"
"Indy lo kok bawel amat dari tadi, iya, iya gue ikut kompetisi merias."
"Wah, benar-benar lo dalami peran jadi makeup artist."
"Tapi lo jangan sampai bawel ya ngomong sana-sini, apa lagi lo sampai ngomong ke Ayah."
"Emang kenapa?"
Saga berhenti sejenak, lalu membuang nafas.
"Gue suka banget pekerjaan ini, tapi keinginan Ayah berbeda, Ayah mau gue kayak lo jadi Dokter atau Prajurit."
"Masih mending lo di kasi dua opsi Dokter atau Prajurit, lah gue jadi Dokter harga mati."
"Terus lo yakin jadi Dokter?" Ucap Saga memancing Indy, ia ingin versi jujur Kakaknya dalam kesadaran bukan seperti ketika ia mabuk.
"Berat Ga, harus belajar terus, lagian pendidikan gue sudah separuh jalan tapi kok lo yang nggak yakin." Indy jadi memelas.
"Lo bisa main gitar, piano, dan violin passion lo musik, lo juga pernah bilang kalau lo mau jadi penata musik dan lo have fun kan dengan itu."
Indy tersenyum, matanya berbinar mendengar adiknya begitu tau detail dirinya.
"Kenapa lo senyam-senyum,"
"Gue aja nggak ngerti harus jadi apa selain jadi Dokter dengan proses yang sulit dan membosankan, dan lo ternyata lebih tau passion gue."
"Menekuni passion apalagi menjadikannya sebagai cita-cita itu menyenangkan, kayaknya sedikit lebih mudah ketimbang menjalani keinginan menjadi apa diluar diri sendiri, itulah yang sulit."
Indy terdiam ucapan Saga benar adanya, menjadi Dokter memang keinginan Ayahnya yang tidak bisa ia bantah, meski prosesnya benar-benar membuatnya sangat kewalahan, cita-cita apapun itu sebenarnya seseorang memang harus berproses tapi jika menjalani seseuatu yang tidak sesuai keinginan hati malah semakin berat, Indy begitu enjoy ketika berhadapan dengan alat musik ketimbang buku tebal ratusan halaman.
Lebih sepuluh menit untuk merias wajah Kakaknya, Indy melihat pantulan wajahnya di cermin, ia menilai Adiknya semakin kompeten merias.
"Untuk rambut lo nggak usah di apa-apain, catok lurus doang."
"Wah," mulut Indy setengah ternganga, flawless ala Korea.
"Rambutnya?" Tanya Indy, masih menatap bayangannya di cermin.
Saga memastikan alat catok panas, lalu menekan bahu Indy untuk kembali duduk.
"Rambut lo lurus aja, lo kayak remaja SMA."
"Nanti AJ bisa naksir gue."
"Who is AJ?"