Gerimis tepat di hari libur mungkin buat sebagian orang adalah secuil surga apalagi untuk makhluk rebahan, menghabiskan waktu di depan tv dengan serial favorit atau berselancar di ponsel atau membaca berpart-part novel.
Tapi tidak dengan Indy, ia harus tetap belajar mengulang-ulang pelajaran. Apalagi seorang Yumi di hari minggu ia tetap bekerja padahal semalam ia hanya sedikit tidur, hingga tengah hari ia memberi les privat ke dua orang anak didik, lalu berlanjut sebagai kasir di kafe hingga malam, tapi khusus hari ini ia izin pulang lebih awal.
Sore hari gerimis berganti langit cerah ketika Indy dan Ayahnya ketempat Yumi, Indy turun tepat di depan kafe, Yumi juga terlihat sudah menunggunya.
"Ayah, besok Indy terus ke kampus bareng Yumi."
"Oke princess." Indy mencium punggung tangan Ayahnya sebelum turun dari mobil. Bertemu Yumi ia langsung memeluk.
"Are you oke, sweet heart?"
"I'll be good if there's you."
Mereka bertemu baru kemarin, tapi saling peluk begitu hangat seperti dua orang karib baru bertemu setelah sekian lama.
"Yum, kebelet gue kebelakang dulu."
"Oh, tau kan arahnya."
Indy mengangguk, lalu buru-buru ke dalam. Tidak lama Yumi seperti kesakitan sambil menekan perut.
"Kenapa nak?" Tegur Arash Ayah Indy.
"Eh om, nggak apa-apa, Indy lagi ke kamar kecil."
"Hp Indy ketinggalan di mobil." Menyerahkan ponsel milik Indy.
"Kamu sakit?" Tanyanya lagi.
"Tidak apa-apa om, hanya sedikit nyeri, biasa tamu bulanan." Yumi tersenyum agak malu sambil menggaruk tengkuknya.
"Nak, kamu hanya anak perempuan mengapa bekerja begitu kerasnya."
Speechless, ucapan itu berupa kasih sayang untuknya, tapi mengapa hatinya sakit mendengar. Arash menjadi mengerti mengapa putrinya kukuh ingin berada di sisi sahabatnya saat ini, mata Yumi masih sembab mungkin banyak nangis, ia punya masalah tapi tetap memaksakan diri bekerja, belum lagi nyeri yang ia rasakan, Arash memahami Indy putrinya juga seperti itu tiap bulan akan merasakan nyeri di perut belum lagi mood swing, ia kerap memaksa Saga untuk mengalah jika muncul sedikit perdebatan dengan Indy.
"Baiklah, Nak om pulang dulu."
Yumi mengangguk, ucapan Ayah sahabatnya itu terus terngiang. Andai saja orang tau mengapa aku bekerja begitu keras padahal aku anak perempuan, jika tidak bekerja aku minta ke siapa? Siapa yang mau ngasih. Aku tidak seberuntung anak perempuan lain, aku berubah peran dari makhluk lembut dan manja menjadi gadis keras bertemeng mental sekuat baja. Keberuntunganku hanya di beri hati dan tulang yang kuat untuk sabar dalam berusaha.
Yumi menarik nafas dalam-dalam dan menatap langit menahan air matanya agar tidak tumpah, apalagi Indy akan segera keluar ia tidak mau sahabatnya tau betapa buruk perasaannya saat ini.
"Yuk," ajak Indy, mereka ke parkiran untuk segera pulang, Yumi menyodorkan kunci motor pada Indy dengan maksud agar Indy yang mengemudi, melihat kunci motor yang di sodorkan, Indy memasang wajah memelas.
"Belum?" Tanya Yumi.
"Belum dapat izin dari Ayah."
"Usia lo berapa? Sekedar berkemudi motor lo belum bisa?"
"Belum di izinin Ayah buat bawa motor." Ulang Indy.
"Gue iri sama lo punya Ayah dan Adik yang bisa kawal lo kemana-mana," ucap Yumi meninggalkan area tempatnya bekerja.
"Gue juga iri, lo bisa mandiri, kemana-mana tanpa bergantung sama orang," sambung Indy mempererat pelukannya.