Hari ini cukup melelahkan sekaligus menyebalkan bagi Indyra Jasmine, betapa tidak pelatihan di rumah sakit, praktikum anatomi momok yang mengerikan bagi sebagian mahasiswa kedokteran, membedah jenazah untuk mengetahui organ-organ tubuh manusia, cadaver yang lebam hitam serta bau menyengat dari formalin cadaver membuat Indy keringat dingin, ia tidak begitu sukses dalam praktek ini.
Alhasil keluar dari ruang praktek ia lari ke kamar mandi, Indy mual dan muntah, isi perutnya serasa bergejolak hingga makanan yang masuk hari ini berebut untuk keluar, tidak berhenti di situ, Indy juga kena omelan konsulen karena di anggap kurang pada praktek kali ini.
Malam ini di meja makan, menu yang di masak ibunya terhidang tapi Indy masih terbayang otor cadaver yang hitam dan bau formalin, Indy kehilangan selera makannya, padahal perutnya keroncong.
"Kenapa nggak makan?" Tanya Saga heran.
"Nggak selera,"
"Setidaknya makanlah sedikit, kamu nggak hargain Bundamu yang susah payah masak," pinta ayah
"Bukan gitu Yah, Indy masih terbayang praktek di rumah sakit tadi,"
"Praktek?"
"Departemen bedah, Ayah, praktikum anatomi,"
Ayah dua anak itu mengangguk, lalu daging rendang di atas meja ia singkirkan, ya, rendang itu warna hitam, bisa jadi mengingatkan Indy pada otot cadaver yang ia teliti tadi, Ayah Indy juga pernah jadi dokter ia mengerti apa yang di rasakan putrinya.
"Ayah nggak perlu singkirkan rendangnya, Bunda dan Saga masih makan, aku juga lelah, boleh Indy istirahat saja,"
Ayah mengangguk, lalu Indy beranjak ke kamar, dari yang melihatnya Indy tidak hanya kehilangan selera makan, tapi cerianya sedikit pudar tidak hebring seperti biasanya. Saga mendadak ngebut menyelesaikan makannya, lalu ke dapur memanggang dua helai roti dan menuang segelas susu menu sarapan tapi menjadi dinner setidaknya Indy harus menelan sedikit makanan, aktifitas Saga selesai di dapur ketika makan malam masih berlangsung, ayah-ibunya tau roti dan susu yang di buat Saga itu untuk kakaknya.
Saga meluncur ke kamar Indy, mendapati Indy membuka buku membuat Saga menghela nafas.
"Jangan di paksain, katanya lelah pengen istirahat tapi kok belajar?"
"Aku yang paling kurang saat praktikum tadi," ucap Indy tanpa melepas pandangannya dari buku.
"Praktek selanjutnya mungkin kamu yang terbaik,"
Barulah Indy mengangkat kepala, melepas kacamatanya lalu tersenyum untuk Saga, adiknya itu jauh lebih optimis ketimbang dirinya.
"Gue bikin roti bakar, lo makan, badan udah kurus begitu lo masih ogah-ogahan makan, gimana lo jadi dokter kalau kesehatan sendiri lo nggak jaga,"
Indy menghela nafas panjang, tarikan dan hembusannya bahkan di dengar Saga.
"Tadi aku kena marah-marah sama konsulen, kuliah kedokteran menuntut mahasiswanya mencapai kompetensi sempurna dengan cepat, itu membuatku frustasi,"
"Dah sering banget gue denger lo mengeluh, sesulit itukah kuliah kedokteran?" ucap Saga prihatin.
"Tidak sulit untuk sebagian orang, tapi sebagian lagi seperti diriku tiap hari kewalahan, merasa ingin nyerah saja,"
Indy mengambil sehelai roti bakar lalu menggigit sedikit, Indy belajar sepanjang waktu, ia tau kakaknya mengabaikan banyak kesenangan demi untuk belajar, tapi Indy masih sangat mengeluh kesulitan dengan materi pembelajaran.
"Banyak banget yang harus di kuasai tapi waktunya sempit, ada ketakutan bahwa aku tidak akan mampu," ucapnya tertunduk murung.
"Tapi lo belajar keras, lo pasti bisa, hasil tidak menghianati usaha,"
Indy mengangguk membenarkan, lalu pembicaraan mereka hening sejenak, lalu Saga seperti mengingat sesuatu, cepat-cepat ia meraih ponsel di sakunya.