Yang kumaksud “kehidupan kreatif”, sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan di bidang seni. Aku tidak bermaksud memintamu untuk menjadi penulis puisi yang tinggal di suatu puncak pegunungan Yunani, atau kau harus tampil di Carnegie Hall, atau bahwa kau harus memenangi Palme d’Or di Cannes Film Festival. (Meskipun jika ada di antaramu yang berkeinginan mencapai prestasiprestasi tersebut, aku sangat mendukung. Aku sangat senang melihat orangorang menampilkan kemampuan terbaiknya.) Bukan, yang kumaksud “kehidupan kreatif ” di sini adalah menjalani kehidupan dengan lebih mengandalkan keingintahuan daripada rasa takut.
Salah satu contoh kehidupan kreatif paling menarik yang pernah kusaksikan barubaru ini berasal dari temanku Susan, yang memutuskan bermain papan luncur di usia 40 tahun. Sebenarnya, dia pernah bermain papan luncur sebelumnya. Dia pernah ikut dalam kompetisi saat masih kanakkanak dan selalu menikmatinya, tapi akhirnya berhenti dari olahraga tersebut semasa remaja ketika dia menyadari bahwa dirinya tidak cukup berbakat untuk menjadi yang terbaik. (Ah, masamasa remaja yang indah—ketika kata “berbakat” sangat melenceng dari makna sebenarnya, dengan menaruh seluruh impian kreatif masyarakat di bahu segelintir manusia, sementara setiap manusia lainnya menjalani hidup yang lebih biasa, tanpa inspirasi! Sistem yang menyebalkan ….)
Selama dua puluh lima tahun berikutnya, temanku Susan sama sekali berhenti bermain papan luncur. Untuk apa, jika kau tidak bisa menjadi yang terbaik? Ketika menginjak usia 40 tahun, dia merasa letih. Gelisah. Dia merasa jemu dan sedih. Susan lantas melakukan pencarian jati diri, sesuatu yang kerap dilakukan orangorang ketika memasuki usia emasnya. Dia bertanya kepada dirinya sendiri kapan terakhir kali dia merasa benarbenar lepas, bahagia, dan—ya—kreatif sebagai dirinya sendiri. Dengan takjub, dia menyadari bahwa sudah beberapa puluh tahun sejak dia merasakan seperti itu. Seingatnya, kali terakhir dia mengalami perasaanperasaan tersebut adalah semasa remaja, ketika dia masih bermain papan luncur. Dia tertegun menyadari bahwa dia telah menyangkal sesuatu yang membuatnya merasa hidup selama ini, dan Susan penasaran apakah kini dia masih sebahagia itu bermain papan luncur.
Susan pun menuruti keingintahuannya. Dia membeli sepasang sepatu berseluncur, mencari tempat bermain papan luncur, dan menyewa pelatih. Susan mengabaikan suara di dalam dirinya yang mengatakan bahwa dirinya konyol dan gila karena berani melakukannya. Dia mengabaikan rasa segan karena menjadi satu-satunya wanita paruh baya di atas es, di antara gadisgadis cilik berusia 9 tahun yang melenggang ke sana kemari seolaholah tubuh mereka tak berbobot.