Saat aku menceritakan kisah ini, usiaku tak lagi muda. Karena itu, aku ingin memulai kisah ini mundur jauh ke belakang, saat aku berusia sekitar sebelas tahun. Tinggal di sebuah rumah yang berada di tengah pemukiman, sebuah kota kecil dengan hamparan pegunungan di sebelah timur dan laut lepas di barat. Kota yang selalu menghasilkan padi dan buah-buah segar setiap tahun. Sebuah tempat di mana hewan ternak memenuhi halaman rumah dan jalan-jalan kecil. Tempat di mana penduduk masih saling peduli antara satu dengan yang lainnya.
Saat itu manusia masih menggunakan tenaga mereka sendiri untuk membajak sawah-sawah, mengairinya, kemudian memanen hasil pertanian mereka. Suara tapak kaki kuda yang berjalanan beriringan, mengalun merdu di sepanjang jalan yang mereka lewati. Para petani yang memikul sebuah cangkul di pundak mereka dan istrinya yang menenteng teko, selalu menjadi pemandangan yang dapat dilihat kala senja mulai tampak. Sebuah kedamaian yang dapat dirasakan bahkan hanya dengan mendengarkannya dari cerita orang atau yang dibaca dari sebuah buku.
Rumah yang kami tempati terbilang nyaman, tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Saat cuaca terik, panasnya tidak menusuk ke dalam rumah. Halaman luas, tempat daun-daun berguguran yang berasal dari pohon pomelo. Di bawahnya terdapat bale-bale bambu berukuran sedang, tempat keluarga kami biasa menghabiskan waktu bercengkrama di sore hari.
Pernah di suatu waktu, Kakek menghampiriku yang tengah duduk sendiri di atas bale-bale bambu. Saat itu beliau baru saja melaksanakan sholat ashar di masjid yang tidak jauh dari rumah. Kakek yang masih memiliki badan tegap, perlahan mendekat dan duduk tepat di sampingku. Kakek memiliki tatapan yang teduh dengan senyuman yang selalu terukir di wajahnya.
Saat itu Kakek bertanya padaku dengan tatapan lurus ke depan. "Bihan, apakah kau ingin mendengar sebuah kisah?”
“Ya," jawabku singkat.
Kakek memperbaiki posisinya, menaikkan kedua kakinya di atas bale-bale dan duduk bersila menghadap ke arahku. Aku mengikuti gerak geriknya dan bersiap mendengar ceritanya, kemudian Kakek mulai bercerita.
"Dulu, dulu sekali, saat Kakek dan Nenek belum lahir. Ada dua orang anak laki-laki yang merupakan saudara kandung, saling berselisih satu sama lain. Kedua orang tuanya dan juga saudara-saudara mereka yang lain tentu sangat mengetahui watak keduanya. Jika di ibaratkan, mereka adalah dua kutub yang berlawanan. Apabila yang satu air, maka yang satu lagi adalah api. Jika yang satu memiliki hati yang penuh cinta kasih dan kedamaian, maka yang satu lagi penuh dengki dan iri hati." Aku mengangguk, mengisyaratkan pada Kakek untuk melanjutkan ceritanya.
"Suatu hari, Ayah mereka memerintahkan sesuatu pada mereka berdua. Lelaki yang berhati baik, menerima dengan senang hati apa yang disampaikan oleh Ayah mereka. Sementara lelaki yang yang berhati jahat itu, menentang dan tidak mau menerimanya. Karena perasaan iri hati yang ia miliki, lelaki berhati jahat itu menginginkan sesuatu yang Ayahnya berikan kepada saudaranya. Tentu dengan segala kerendahan hati yang dimiliki lelaki berhati baik itu, dia pasti tidak keberatan jika harus menukar apa yang telah Ayah mereka berikan. Tetapi sang Ayah sebagai pengambil keputusan dalam keluarga, tidak serta merta membiarkan hal itu. Sang Ayah mengusulkan agar kedua putranya itu mempersembahkan sesuatu yang mereka miliki." sambung Kakek.
"Apa yang mereka persembahkan, Kakek?" aku bertanya dengan sangat penasaran.