Ayah adalah anak dari Kakek dan Nenek, sedangkan Ibu adalah menantu. Perjalanan hidup Ayah tentu tidak jauh dari peran besar Kakek dan Nenek. Ayah adalah gambaran yang benar-benar bisa mencerminkan keduanya, mulai dari perawakan sampai kebiasaannya.
Wajah Ayah mirip dengan Nenek dan sikapnya sangat mirip dengan Kakek. Kakek dan Ayah merupakan panutan bagiku, terlepas dari hubungan darah di antara kami. Aku selalu merasa terpana melihat mereka bahkan saat mereka berjalan beriringan. Aura yang sangat kuat, dua lelaki yang gagah berperawakan tinggi besar dengan tatapan yang sangat teduh. Cara mereka memperlakukan keluarga di rumah, juga saat mereka berkomunikasi dengan warga sekitar, semuanya sangat mempesona. Perasaan selalu dilindungi sekaligus disayangi dalam waktu yang bersamaan. Sebagai seorang anak dan cucu mereka, tentu aku ingin mewarisi semua itu. Aku ingin menjadi seseorang yang disenangi dan juga disegani. Aku tidak pernah mendengar satu pun cerita buruk tentang mereka, itu membuatku semakin bertekad. Bukan kesuksesan yang aku inginkan di masa depan, bukan pula hidup dengan gelimangan harta, aku hanya ingin menjadi seperti Kakek dan Ayah.
Di sekolah, aku belajar dengan giat. Aku ingin segera menyelesaikan pendidikanku di sekolah dasar, lalu melanjutkannya di sekolah menengah favorit di kotaku. Sebagai seorang yang agamais, Kakek tidak pernah memaksa anaknya bersekolah di pondok pesantren.
Ayahku bersekolah di sekolah negeri biasa, itu adalah pilihannya. Kakek selalu membiarkan anaknya memilih keputusan dalam hidupnya dan menyuruh mereka untuk bertanggung jawab penuh atas pilihan yang diambilnya. Melihat bagaimana Ayah saat ini, tampaknya ia selalu benar atas pilihannya. Sementara itu adiknya yang juga tinggal bersama kami, Bibi Jira, juga pernah menentukan pilihan dalam hidupnya sendiri.
Berbeda dengan Ayah yang melanjutkan pendidikannya sampai meraih gelar sarjana, Bibi justru berhenti melanjutkan pendidikannya setelah lulus dari sekolah menengah atas. Bibi memilih untuk menikah dengan seorang yang cintainya, Paman Fredi, lalu menjadi Ibu rumah tangga sampai sekarang. Kakek tidak menentang keputusan Bibi saat itu, beliau menghargai pilihan anaknya dan mendukung keputusannya.
Meski jalan yang dipilih Ayah dan Bibi itu berbeda, tetapi aku bisa melihat dengan jelas kebahagiaan dalam hidup mereka. Seolah menunjukkan bahwa jalan apapun yang dipilih tidak selalu antara baik dan buruk, bisa jadi keduanya adalah jalan yang baik dan jalan yang terbaik.
Tentu sulit memahami jalan pikiran orang dewasa, terkadang yang kami anggap buruk itu ternyata menyimpan sebuah kebaikan. Sebaliknya apa yang kami anggap baik, bisa saja menyimpan keburukan pula. Seolah mereka mampu melihat apa yang akan terjadi kedepannya, seolah mereka tahu segalanya. Aku berpikir, menjadi dewasa akan semenarik itu. Aku ingin menjadi dewasa secepatnya!
Sama seperti waktu itu, ketika kami pergi bertamasya di salah satu taman bermain. Aku dan Lucy, anak dari Bibi Jira yang baru berusia delapan tahun, sedang menjilati es krim yang Ayah berikan di bangku taman. Saat itu seorang lelaki paruh baya datang menghampiri kami dan menawarkan sebuah mainan. Lucy yang kegirangan langsung menyambar mainan tersebut dari tangan lelaki paruh baya itu, melihat raut wajah Lucy, dia pasti sangat gembira. Melihat itu, Ayah lalu beranjak dari tempat duduknya dan membawa kami pergi menjauh dari lelaki paruh baya itu. Ayah jelas tampak tidak senang dan membuang mainan yang dipegang oleh Lucy. Meski Lucy sempat menangis, tetapi Bibi Jira langsung membeli mainan baru untuk anaknya itu. Kami tidak mengerti mengapa Ayah berbuat seperti itu, namun Ibu, Bibi Jira dan Paman Fredi seperti setuju dengan sikap Ayah.