Hari pertamaku sekolah cukup berkesan. Meski tidak memiliki cukup banyak teman, tapi aku sangat senang bisa mengenal seorang Bill. Aku menemukan kecocokan dalam sebuah perbedaan dengannya. Di usia yang masih beranjak remaja ini, pemikirannya benar-benar dewasa. Wawasannya luar biasa, terlihat seperti perpustakaan yang bisa berjalan. Misalnya saja saat kami membahas tentang pelajaran di kelas, saat guru bertanya dan kami dapat menemukan jawaban yang sama pada buku pelajaran yang dibagikan. Seolah sudah diatur sedemikian rupa sebelumnya. Tetapi lain halnya dengan Bill, ia berbagi pandangan yang berbeda dan menunjukkan sisi lain yang benar-benar masuk akal. Aku sampai merasa dianugerahi bertemu dengannya.
Sepulang sekolah hari itu, tentu semua orang di rumah menanyakan bagaimana hariku di sekolah. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan, ku rasa hanya seputar Bill saja. Tidak mungkin aku menceritakan ketegangan yang terjadi antara aku dan seorang senior di sekolah. Philips si wajah jahat itu, aku akan menghindarinya sebisa mungkin.
Hari kedua perjalanan seorang remaja dimulai. Pagi itu Paman Fredi menawarkan untuk mengantar aku dan Lucy ke sekolah, tetapi aku menolaknya. Aku tidak ingin berangkat terlalu pagi ke sekolah, aku akan ikut dengan Ayah. Setidaknya aku akan tiba beberapa menit sebelum lonceng pertama berbunyi.
Tepat setelah turun dari mobil Ayah, aku mendengar lonceng berbunyi. Aku tergesa-gesa dan berlari menuju gerbang. Dari arah belakang seseorang memanggil namaku dengan suara yang berat.
"Bill, kau juga terlambat?" dengan suara terpatah-patah karena lelah berlari.
"Mengapa larimu kencang sekali? Aku sudah seperti asma begini, aku memanggilmu dari tadi." suaranya lebih terpatah-patah lagi karena ikut berlari. Tangannya menopang ke lutut dan membungkuk kelelahan.
"Loncengnya sudah berbunyi, tentu saja aku lari." kataku, memberi tahu.
Sambil memperbaiki napasnya yang memburu dan berdiri dengan tegak, wajah datar itu muncul lagi.
"Tidak apa-apa, santai saja. Guru yang akan mengajar kita hari ini adalah tetanggaku, aku melihatnya masih ada di depan kedai roti persimpangan sana." ucapnya menunjuk kearah yang ia maksud, sambil berjalan pelan ke arahku.
"Baguslah kalau begitu, aku lelah sekali. Mengapa jarak jalan raya, gerbang sekolah, sampai ke kelas jauh sekali" aku mengoceh kelelahan dan berjalan bersama Bill menuju kelas.
Sementara itu di beberapa kelas juga masih ramai di depan kelas masing-masing, sepertinya di sini gurunya sering mengulur waktu. Mereka yang masih berada di depan kelas kembali memperhatikan ke arahku dan Bill. Aku tidak merasa heran lagi, mereka pasti merasa terpana oleh Bill. Bahkan aku sendiri sangat kagum padanya.