Langkah perempuan berambut lurus sebahu dan berkulit sawo matang itu tergesa menuju salah satu sekolah swasta terkemuka di kota Bandung – tempat ia mengabdi selama dua tahun ini – sebagai Guru bahasa Indonesia.
Hentakan heels yang menciptakan irama ketika bertemu dengan lantai marmer. Sesekali dia menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya, entah itu sesama Guru atau siswa. Penampilannya begitu elegant dengan setelan celana panjang hitam – blouse putih – blazer hitam membalut tubuh semampainya.
Senyum menghiasi bibir mungilnya – menjadi salah satu pemanis perempuan yang biasa dipanggil…
“Bu Arum!” seorang siswi memakai seragam putih biru memanggil, dengan senyum ceria dia menghampiri Guru muda bernama Arum itu.
“Selamat pagi Freya.” Arum menyapa dengan ramah.
“Selamat pagi Bu.” Freya berhenti tepat di hadapan Guru favoritnya itu.
“Tugas puisi dari Ibu sudah aku selesaikan Bu.” dengan riang siswi kelas delapan itu mengambil selembar kertas dari tas selempangnya – menyodorkannya pada Arum. “Ini layak nggak Bu dilombakan?”
Arum meraih dengan ragu- mengingat lomba apa yang sedang Freya bicarakan. “Oh lomba yang saya kasih dua minggu lalu ya?” Arum menilik kertas yang kini berada di tangannya. Hatinya gamang, bagaimana dia bisa lupa dengan event itu – sebelumnya dia telah menjanjikan akan membimbing siswanya yang ingin ikut lomba puisi, sementara hari ini adalah hari terakhirnya menjadi seorang Guru di salah satu sekolah terbaik itu.
“Bu?” Freya mengernyit melihat perubahan raut wajah Arum.
“Ya?”
“Ibu kenapa?”
“Tidak apa-apa. Ya puisi kamu bagus sekali. Kamu harus semangat ya ikut lombanya.”
“Tentu. Kalau Ibu pembimbingku aku pasti akan selalu semangat.”
“Kamu itu anak yang cerdas, Ibu yakin siapapun pembimbing kamu, kamu akan selalu jadi anak yang membanggakan.” Arum mengulas senyum terbaiknya, demi membuat Freya berbesar hati jika kelak tahu dirinya tidak akan mendampinginya.