Pagi masih sangat samar, embun di ujung daun ketapang belum tersapa mentari. Hanya deru ombak yang tak pernah lelah menemani.
Seseorang tengah duduk memeluk lututnya, membiarkan pasir menyelinap di celah-celah jari-jari kakinya.
Dia adalah Arum yang tengah menikmati suasana kampung halamannya. Dua tahun lamanya ia tidak menjumpai tanah kelahirannya itu, setelah dia mencicipi kehidupan di kota besar, akhirnya ia benar-benar menikmati kedamaian di kampungnya sendiri, tak bisa dipungkiri rindunya pada setiap inci tanah tempat ia tumbuh besar tak bisa tereja dengan kata – tak terhitung dengan angka. Dia bahagia.
Namun dia juga harus berbesar hati ketika mengetahui dia adalah yang menunggu bukan yang ditunggu. Seseorang yang berjanji pulang setelah dua tahun nyatanya tidak ada, bahkan dia belum menyapanya meskipun sekedar kabar angin.
Ditengah-tengah lamunannya tiba-tiba…
“Tangkap bolanya Sam!” Seorang anak berseragam sekolah dasar yang berteriak pada temannya yang juga memakai seragam yang sama. Putih merah, lengkap dengan dasi berwarna merah menggantung sebatas dada. Lambang garuda dengan belencong api di dadanya lengkap dengan semboyan Tut Wuri Handayani nyaris setengah melingkar di atasnya. Ya, semboyan yang selalu digaungkan itu bukan sekedar kebanggaan bagi dunia pendidikan, ada semangat yang dititipkan Sang - Empu dalam setiap maknanya. Semangat Ki Hajar Dewantara.
Ing Ngarso Sung Tulodo Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani, di depan−seorang pendidik harus bisa menjadi teladan−di tengah murid−pendidik harus bisa memberikan ide, dan dibelakang−seorang pendidik harus bisa memberikan dorongan. Kata-kata yang sering Arum dengar dari seorang guru sekolahnya dulu.
Arum pun bangkit karena bola menggelinding tepat di dekat kakinya, Arum tersenyum seraya menyerahkan bolanya pada anak yang dipanggil Sam. “Sekolah kok bawa bola Sam.”
“Buat nanti main di sekolah Teh.” Jawaban itu datang dari anak satunya lagi – yang lebih tinggi dan kurus.
“Hanan… nanti Teteh kasih tahu Bapak lho.” Arum mengancam anak yang bernama Hanan, yang tak lain adalah adik bungsunya.
“Jangan atuh Teh…” Hanan memelas, sementara tiga kawannya terkikik di belakangnya.
“Kasih tau Wak Sardi saja Teh, tuman!” ledek Samsul.
“Ya sudah berangkat sana, nanti kalian terlambat.” Arum menepuk bahu adiknya, dan membagikan senyum manisnya pada anak-anak tetangganya itu.
“Baik Teh.” Mereka pun mengambil bolanya dan bergegas pergi.
Arum menatap punggung empat orang putera daerahnya. Sesekali mereka saling bersenda gurau di tengah perjalanan mereka. Menurut kabar yang ia dapat, hanya mereka berempat kini yang bersekolah di tingkat dasar, tiga orang dari tingkat sekolah menengah. Selebihnya mereka hanya membantu pekerjaan ayah mereka sebagai nelayan. Arum membatin.
Cahaya mentari sudah cukup menyapa wajahnya – hangat. Arum mengedarkan pandangannya. Suasana mulai ramai, banyak nelayan yang baru berlabuh, dengan membawa hasil tangkapan semalam dari laut. Termasuk diantara mereka ada seseorang yang amat ia kenal.
“Arum.” Lelaki paruh baya yang begitu Arum kenal menghampirinya.
“Bapak.” Arum sempat merasa takut, ia mengamati wajah bapaknya itu, memastikan bapaknya tidak sedang marah padanya, rasa bersalah atas kejadian beberapa tahun silam seperti terpatri di hatinya. Lalu Arum merunduk, dia tak pernah berani menatap sorot mata tajam bapaknya yang selama ini ia segani.
“Kamu pagi-pagi malah di sini.” Pak Sardi menenteng jalanya.
“Oh, ini Arum sedang jalan-jalan saja Pak, soalnya... soalnya sudah lama Arum tidak main ke pantai.” Arum masih belum sanggup mengangkat wajahnya.
“Ya sudah, pulanglah. Sebentar lagi panas.” Pak Sardi berlalu.