BIJANA

Siraru
Chapter #5

Lima

Pagi itu langit timur masih dihiasi garis cahaya kemerahan, angin dingin yang cukup menusuk tulang, membuat sebagian orang harus merapatkan baju hangatnya, tapi tidak mematahkan semangat warga kampung itu untuk keluar rumah, bekerja demi mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.

sebagian besar mereka pergi ke ladang, sebagian lagi baru selesai menurunkan ikan dari perahu.

Suara anak-anak yang baru pulang mengaji dari surau membuat suasana semakin terasa hangat. Setiap subuh mereka selalu mengaji dengan ustadz di kampung itu. Sebelum matahari terbit mereka sudah harus pulang untuk bersiap melakukan aktifitas lainnya.

Namun di bagian yang sepi di pesisir pantai itu Arum tengah duduk sendiri, menghirup segarnya udara pagi, dan memanjakan matanya dengan menatap langit luas di hadapannya. Dia tidak memperdulikan kesibukan orang-orang dikampungnya, dia hanya tidak ingin melewatkan waktu-waktu yang telah lama tidak dinikmatinya, karena selama beberapa tahun itu adalah waktu yang amat panjang baginya.

Di sudut hati kecilnya masih begitu merindukan tempat di mana ia bisa beraktifitas ditengah ramainya kota. di sana dia merasa tidak berarti apa-apa. Seperti ada sesuatu yang lenyap dari bagian hidupnya.

Dua sisi itu membuat Arum mulai bimbang, pertanyaan demi pertanyaan mulai singgah di benaknya, tentang keputusannya kemarin.

“Pagi-pagi sudah di sini saja Rum.” Seseorang menghampiri Arum hingga membuat Arum sedikit terkejut.

“Teteh, kenapa keluar rumah, Teteh kan lagi batuk, cuacanya lagi dingin banget.” Arum bangkit dari duduknya.

Semenjak ia pulang Kakaknya itu sudah terlihat begitu lemah. Arum memahami dengan apa yang menimpa Fitri, kakaknya. Perceraian telah membebani pikirannya, hingga kesehatannya semakin menurun. Ibunya sering menceritakan kondisi Fitri belakangan ini.

“Ini kan masih pagi Rum, udara pagi bagus, mudah-mudahan saja batuk Teteh cepat sembuh.”

Arum menggandeng lengan Fitri, membantunya duduk. “Tetap saja Teteh harus banyak istirahat di rumah.”

“Teteh baik-baik saja Arum.” Fitri memandang sayu adiknya.

Lihat selengkapnya