BIJANA

Siraru
Chapter #6

Enam

      Arum menatap bangunan di hadapannya – bangunan tua yang sederhana – salah satu sekolah swasta di daerah tempat Arum tinggal sekaligus tempat dulu Arum sekolah. kondisinya jauh sekali dibandingkan dengan sekolah tempat ia mengajar sebelumnya, yang serba mewah. Di sini

Namun kakinya tak henti melangkah. Lebih dalam lagi Arum lebih banyak mengenang masa-masa sekolahnya. Sudah enam tahun lamanya Arum tak menginjakkan kaki di sana. Semua kenangan terlintas manis di pelupuk matanya. Tidak banyak yang berubah, hanya warna cat yang terlihat lebih terang.

Di sanalah tempat Arum mengabdi kini. Jauh berbeda memang dengan saat dia mengajar di sekolah di kota, namun Arum akan belajar menikmatinya. Bukankah dia memang berasal dari sana. Dia tidak ingin menjadi seseorang yang melupakan jati dirinya.

Kini Arum sudah berada di depan kelas sembilan, ditemani kepala sekolah – Pak Hari.

“Selamat pagi anak-anak...” Pak Hari yang membuka perkenalan.

“selamat Pagi Paaak...” Jawab mereka serempak.

“Anak-anak, hari ini kita kedatangan Guru baru di sekolah kita. Ibu ini akan mengajar bahasa Indonesia.”

Riuh suara siswa-siswa di dalam kelas itu, terdengar juga bisik-bisik satu sama lain. Arum memberikan senyum ramahnya, memberikan kesan pertama yang menyenangkan. Tidak lagi canggung bersama mereka, karena dua tahun memberikan pengalaman pada Arum.

“Semoga kalian bisa bekerja sama dengan baik dengan Ibu Guru ya.” Pak Hari pun berpamitan dari kelas itu. Tinggalah Arum berdiri di depan dua puluh lima siswa itu.

Penampilan mereka sederhana, jauh berbeda juga dengan siswa-siswanya dulu. Arum mengedarkan pandangan, menatap wajah-wajah yang menunggu reaksinya.

“Selamat pagi anak-anak...” akhirnya Arum membuka suara.

“selamat pagi Buuu...” sama seperti pada Pak Haris, mereka menjawab serempak.

Arum memperkenalkan dirinya termasuk latar belakangnya sebagai alumni sekolah itu juga. Dari sekian wajah-wajah di sana Arum hanya menemukan dua orang siswa dari kampungnya.

“Nisa?” Arum menyapa siswi yang juga tetangganya.

Siswi tersebut malu-malu, kepalanya ia tundukkan, “B-Bu...” Katanya, seperti canggung karena terbiasa memanggil Arum dengan sebutan ‘Teteh’.

Arum beralih pada siswi di sebelahnya, “Mae.” Kali ini Maesaroh yang Arum sapa, masih tetangganya. Mae hanya tersenyumdan menjawab dengan anggukan penuh hormat.

Arum mengenal mereka, dua anak perempuan yang cukup cerdas, Arum tahu mereka dari mereka masih duduk di bangku sekolah dasar awal, bahkan mereka juga kerap meminta Arum mengajari mereka menulis ketika Arum masih SMA.

Lihat selengkapnya