Empat hari semenjak Fitri pingsan, Pak Sardi tak henti mencari pinjaman kemana-mana. Tidak mudah juga baginya menggadaikan perahunya. Arum pun belum menerima gajinya selama tiga bulan. Tidak ada yang bisa pak Sardi andalkan. pilihannya hanya satu…
“Ukar!” Pak Sardi berdiri di luar bengkel yang sedang sepi pengunjung. Ya akhirnya pak Sardi memilih mendatangi Ukar meskipun berat harus memelas meminta pertolongan pada mantan sahabatnya itu.
Sang pemilik tengah mengamati sebuah motor tua. Pikirannya ingin segera mengeksekusi motor yang sudah berhari-hari belum diperbaiki itu. Sementara si pemilik sudah berulang kali meminta agar motor ‘antik’-nya segera diperbaiki.
“Sardi?” Pak Ukar terkejut melihat sosok berkumis yang dikenalnya. “Ada angin apa?”
“Angin apa maksudmu?” Pak Sardi masih berdiri tegak di tempatnya semula.
“Angin apa yang membawamu ke sini? Apa jangan-jangan kamu ke sini meminta agar anakmu segera dilamar? Hahaha…” Pak Ukar memicingkan matanya. Tawanya yang khas membuat Pak Sardi menggelengkan kepala.
“Jangan bermimpi Kar.” Pak Sardi bertolak pinggang.
"Hey Sardi, ayolah kita ngopi bersama seperti dulu."
"Aku sudah ngopi di rumah.” Pak Sardi menolak ajakan Pak Ukar dengan ketus. “Aku akan langsung ke intinya saja Kar.” Pak Sardi termenung sejenak, menimbang keputusannya untuk meminjam uang. “Aku perlu uang. Akan aku ganti kalau perahuku sudah ku gadai." Wajah Pak Sardi masih dingin, gengsinya masih di atas rata-rata.
"Uang untuk apa sampai kamu mau menggadaikan perahu kesayanganmu itu?" Pak Ukar menghampiri Pak Sardi, "kita bicara di dalam saja. Aku tidak mau tetanggaku menyangka kamu sedang menagih hutang."
Pak Sardi mengalah. Dia ikut masuk ke rumah Ukar. Dia juga tidak mau menjadi tontonan warga yang melihat mereka bersitegang di pinggir jalan.
"Jadi untuk apa uang itu? Kau tidak sedang mengumpulkan uang untuk mencari Rukmi kan?" Tanya Pak Ukar setelah mereka duduk di teras rumah Pak Ukar.
Wajah Pak Sardi berubah merah, kekesalannya mencuat, ditariknya baju Pak Ukar. "Kau ini bicara apa Ukar. Bagaimana kalau istriku dengar? Rukmi itu masa lalu kita."
"Hahaha… begitu saja serius sekali kamu Sardi. Ingat sudah tua. Tensi darah cepat naik." Pak Ukar menepuk lengan Pak Sardi, melepaskan tangan Pak Sardi dari bajunya.
“Mungkin itu yang ada di kepalamu Kar." Pak Sardi tak mau kalah.
"Aku sudah bahagia dengan istriku yang bahenol itu. Rukmi masa lalu bagiku." Balas Pak Ukar.
"Ya dia juga masa lalu bagiku. Istriku itu istri yang sabar dan sholehah." Pak Sardi membuang muka. Otot pipinya terlihat naik turun.
"Jelas istrimu wanita yang sabar, aku tahu. Buktinya dia masih sanggup bertahan dengan suami sepertimu. Hahaha..." Pak Ukar semakin menjadi-jadi.
"Ukar!" Hardik Pak Sardi.