Subuh telah datang menggantikan malam. Di rumah Pak Sardi. Tidak ada senda gurau seperti biasanya. semua masih larut dalam keresahan akan sakit yang Fitri derita.
“Rum, kamu jaga Hanan ya di rumah. Bapak sama Ibu antar Fitri ke rumah sakit.” Bu Sardi duduk di lantai papan rumahnya, “Jangan lupa sambal teri dihangatkan ya. Takutnya lama Ibu di sana.” Pesannya lagi.
“Iya Bu.” Arum membantu memasukan bekal nasi ke dalam keranjang.
“Hanan suka lupa waktu kalau main. Suruh di rumah saja.”
“Iya Bu. Arum nemuin Teteh dulu ya Bu.” Arum berdiri setelah semua bekal makanan masuk keranjang.
“Iya sana.” Bu Sardi mengurut betisnya, rematiknya mulai kambuh.
Di dalam kamar Fitri terbaring lemah, Arum menatap Fitri dengan iba yang dalam. Kondisi Fitri semakin tak menentu. Terkadang naik terkadang turun semenjak kemarin. Ketika kondisinya menurun membuat Arum dilanda cemas.
“Rum…” Fitri sudah terbangun sedari tadi. Matanya terbuka sedikit. Dia melihat adiknya yang hanya berdiri mematung di depan pintu.
Arum tersenyum canggung, “Teteh sudah bangun?” Arum mendekat dan duduk di sisi dipan kecil milik Fitri.
“Kamu kenapa melamun di situ?”
“Siapa yang melamun Teh? Arum hanya sedang memikirkan bekal kalian nanti di jalan.” Arum menopang dagunya di samping Fitri, dia duduk bersimpuh di lantai papan.
“Rum … Bapak bilang ada yang bayar hutang sama bapak.” Fitri mengelus kepala Arum dengan tangannya yang lemah.
“Oh ya?” Arum tidak tahu sama sekali.
“Kasihan Bapak.” Fitri sedikit meringis. “Baru juga dapat uang harus hilang lagi.” Fitri menarik tangannya dan melipatnya di atas perut ratanya.
Arum mengerti sekarang, Bapaknya berbohong pada Fitri. Kenyataannya bapaknya meminjam uang ke Bapaknya Biru. “Ya nggak apa-apa Teh. Kesehatan Teteh lebih dari segalanya.” Arum mengusap air mata yang menetes di pipi Fitri, “Teteh jangan menangis lagi. Biar cepat sehat.” Arum tersenyum manja.
“Teteh nggak mau menjadi beban Rum.” Fitri kembali membelai kepala Arum.
“Teh…”