Senin pagi selepas September, awan tipis beriringan di hamparan langit biru. Angin semakin dingin menusuk tulang. Oktober telah bertandang, musim penghujan memulai perjalanan ceritanya tahun ini.
Arum baru tiba di sekolah, hari ini semua guru honor mendapat gaji bulanan mereka. Ruang guru masih kosong, Arum menaruh tas di meja lalu menarik kursi kayu di hadapannya. Sekilas matanya melirik ke arah meja Bintang, satu-satunya Guru yang usianya tak begitu jauh dengan Arum.
“Bu Arum tidak mengambil gaji bulanannya?” Guru matematika menghampiri Arum.
“Ah sudah dibagikan Bu?” Tanya Arum. Dadanya terasa lega mendengar sebentar lagi rupiah-rupiah itu akan ada ditangannya. Karena sungguh miris dia tidak punya uang sama sekali. Tabungannya sudah habis dipakai kebutuhan selama ini.
“Sudah. Ayo cepat ke sana.” Bu Dewi Guru matematika yang usianya hampir menginjak lima puluh tahun itu tersenyum.
Arum dengan semangat pergi. Senyum cerahnya seperti rekahan bunga mawar pagi tengah dimanja sang mentari. Hari ini, untuk pertama kali Arum akan menerima hasil jerih payahnya selama tiga bulan menjadi Guru di sana.
Tidak perlu lama, lima menit Arum sudah kembali ke tempat duduknya. Arum duduk lemas di kursinya. Tangan kirinya menopang kepala, tangan lainnya menggenggam enam lembar uang berwarna merah muda. Arum menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Seharusnya hari ini menjadi hari bahagia yang telah dia nanti tiga bulan lamanya.
“Bersyukur saja Rum.” Bintang yang tengah duduk di hadapan Arum merasa lucu melihat Arum terpana dengan gaji pertamanya.
“Ini serius Bin, hanya ini?” Arum melongo.
“Iya, hanya segitu untuk tiga bulan ini. Dan bulan berikutnya juga akan tetap seperti itu.” Jawab Bintang seraya terkekeh.
Arum mengalihkan pandangannya pada Guru-Guru senior di sana, bagaimana mereka yang sudah puluhan tahun mengabdi, dan yang ia dengar beberapa dari mereka mendapat tunjangan Guru dari pemerintah baru tahun ini.