“Bu.” Mae menghampiri Arum yang sedang berdiri di luar kelas, Arum sengaja diam di luar untuk menunggu Bintang – ada hal yang akan ia sampaikan.
“Ya? kenapa Mae?”
“Bu, kita mengundurkan diri untuk lomba nanti.” Jawab Mae dengan napas tersengal-sengal karena mencari Arum setengah berlari.
“Kenapa? Bukannya kamu siap membaca puisi nanti? Asep juga sudah sepakat akan membacakan dongeng Keong Mas?” Arum mengernyit.
“Iya Bu. Tapi …” Mae clingukan menoleh kiri – kanan.
“Ada apa?” Arum penasaran.
“Itu Bu.” Wajah Mae seperti ketakutan.
“Tidak apa-apa, bilang sama Ibu.” Arum tersenyum,menyentuh bahu Mae guna memberi dukungan.
“Bapak Kepala Sekolah tidak setuju Bu.” Mae menggigit bibirnya, wajahnya pucat bercampur dengan kekecewaan yang tidak bisa Mae sembunyikan.
Derap langkah membuat mereka berdua menghentikan pembicaraan. Mereka Arum dan Mae kompak menoleh ke arah suara.”
“Betul Bu, lomba pidato bahasa Inggris pun kemungkinan batal.” Orang yang baru saja datang itu adalah Bintang.
“Kenapa begitu?” Arum tak habis pikir dengan pola pikir atasannya itu.
Bintang melirik Mae, “Kamu masuk saja Mae, biar kami yang mengurus masalah ini.” Bintang tersenyum tenang, menenangkan Mae yang memasang wajah kecewa.
“Baik Bu.” Mae pun kembali ke kelasnya.
Kini tinggal Bintang dan Arum yang masih berdiri di tempat semula, wajah mereka sama-sama muram.
“Alasannya apa Bin?” Arum duduk di pilar yang ada di depan kelas.
Bintang mengikutinya, “Alasannya, sekolah kita enggak pantas bersaing dengan sekolah-sekolah yang ada di kota.”
“Mana mungkin dia punya pikiran seperti itu?!”
“Aku juga nggak paham Rum. Susah payah kita meyakinkan mereka untuk ikut lomba ini. Pak Hari bilang, jangankan melawan sekolah dari siswa-siswa dari kota besar lainnya, dari daerah Sukabumi saja sudah berat.”