Senyum Mae, Asep merekah secerah pagi itu, tatkala mengetahui perlombaan yang sebelumnya terancam batal ternyata dilanjutkan. Tanpa mereka ketahui bahwa Bintang akhirnya yang mendanai mereka, karena pihak sekolah sama sekali tidak mau ikut campur.
“Kalau begitu kami kembali berlatih ya Bu.” Kata Asep, siswa betubuh tinggi dan berambut ikal itu dengan penuh semangat.
“Ya, kembali lah berlatih di kelas, karena kelas sudah mulai kosong, nanti Ibu ke sana.” Arum mempersilahkan mereka berlatih terlebih dahulu, karena ada hal yang ingin dia katakan pada Bintang. Ketidak enakan hatinya.
Suasana ruangan Guru sepi sekali karena sebagian besar Guru sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu. Tersisa Arum dan Bintang yang masih menyusun rencana untuk keberangkatan mereka ke Bandung.
“Aku senang melihat mereka begitu semangat dan bahagia, tapi aku juga malu Bin, aku yang mengajak mereka, namun akhirnya aku nggak bisa bertanggung jawab sepenuhnya, terutama masalah biaya.” Arum menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Ini tanggung jawabku juga Rum. Justru dengan info dari kamu ini itu sebuah peluang, ini juga yang aku inginkan semenjak aku mengajar di sini, karena aku lihat mereka itu anak-anak yang berpotensi." Urai Bintang, matanya masih asyik memeriksa hasil ulangan tengah semester siswa kelas tujuh.
“Hemm, Ya aku paham Bin, tapi aku janji semampuku akan mengantar mereka melihat jendela baru.” Akhirnya Arum bisa tersenyum lega, dia kenal Bintang, orang baik yang tak pernah perhitungan maslaah uang. “Tapi, kamu bisa mendanai ini semua dengan? Ah maksudku...” Arum segera meralat kata-katanya, khawatir Bintang tersinggung.
Nyatanya tidak, Bintang tertawa, matanya beralih menatap Arum, "Aku punya tabungan Rum, tadinya buat hajatan kalau aku nikah nanti. Bintang terkikik." Untuk Bintang mengeluarkan tabungannya seperti itu bukan masalah. Karena dia masih tinggal bersama orang tuanya yang terbilang keluarga golongan menengah ke atas.
"Terus gimana dong nanti pas nikah?" Arum terkekeh.
"Nikah sama ikan? Calon aja belum punya." Bintang mengerucutkan bibirnya. Lalu tiba-tiba dia menatap Arum dengan tatapan penuh arti, "kamu punya seseorang yang mau dikenalkan sama aku?"
Arum terperangah,"Apa?" Beberapa kali matanya memgerjap.
"Aku tergolong susah berkenalan sama seseorang Rum." Bintang tersenyum tipis.
"Aku punya sahabat." Entah kenapa Abas terlintas di pikiran Arum, meskipun sebetulnya Arum yakin Bintang tidak akan tertarik pada Abas dan dia segera menyesalinya.
"Oh Biru yang sering kamu ceritain yang sekarang di Belanda?" Mata Bintang berbinar, seperti memberi sinyal harapan. Memang di usianya yang cukup matang, yakni dua puluh lima tahun Bintang menginginkan sebuah hubungan yang serius. Terlebih selama ini Arum kerap menceritakan sahabat lamanya itu pada Bintang.
Arum tersenyum masam, kenapa harus Biru tebakan Bintang, sama sekali dia tidak berniat menjodohkan Biru sama Bintang. "Hah?” Arum menelan ludah. Niat Arum sering menceritakan Biru tidak lebih karena minat mereka sama, dunia jurnalis. Arum mengutuk tindakkan bodohnya dulu, bagaimana kalau Bintang benar-benar berharap pada Biru?
"Kapan dia pulang?" Selidik Bintang.
Pertanyaan Bintang mendaratkan kembali kaki Arum ke bumi. "I-itu, Aku juga nggak tau Bin. Aku nggak ada komunikasi lagi sama dia." Arum melihat gelagat Bintang yang seperti serius.
"Sayang ya." Bintang mengulum senyum.