“Ada apa sih Rum?”Abas menstandarkan motornya. Dilihatnya di depan rumah Arum banyak orang sedang berbincang, dan kebanyakan mereka tidak Abas kenal.
Arum berdiri sedikit jauh dari kerumunan itu. Terlihat Pak Sardi dan Yana ikut serta di sana, bersama beberapa orang kampung lainnya.
“Mereka sedang mendiskusikan tentang pembangunan tambak udang di sini, di kampung kita Bas.” Mata Arum masih mengamati sekumpulan orang itu, dia sengaja berjarak dengan mereka agar lebih leluasa mengamati mereka.
“Wah bakal rame atuh kampung kita teh.” Abas hendak ikut nimbrung, namun ditahan oleh Arum.
“kenapa?”
“Kamu suka ngomong nyeplos Bas, sudah biar para orang tua saja. Sepertinya suasana agak panas.” Arum melihat perdebatan-perdebatan kecil dari tokoh kampung dan tamu-tamu asing itu, termasuk Pak Sardi terlihat menunjukan taringnya.
“Iya sih.” Abas juga melihat kondisi yang mulai tidak enak dilihat. Bahkan suara-suara yang mulai meninggi. “Kenapa penduduk kampung di sini nggak setuju ya? Padahal kan barusan mereka bilang akan ada perbaikan jalan.” Abas menggaruk kepalanya.
“Mereka takut akan mencemari wilayah kita Bas.” Arum melipat kedua tangannya di depan dadanya.
“Oh begitu ya.”
“Tapi mereka belum tahu, bahwa dibangunnya tambak di sini, akan menyerap tenaga kerja setempat.” Arum berdecak, lalu duduk di bale-bale, diikuti Abas.
“Benarkah? Aku bisa atuh ya ikut kerja di sana?” Abas mengetuk dagunya dengan jari telunjuknya.
“Mau berhenti jadi tengkulak ikan Bas?” Arum tak menolah Abas.
Abas diam, mencermati kata-kata Arum, menimbang mana yang lebih menguntungkan, bekerja di tambak udang mungkin lebih enak, tidak perlu pagi-pagi buta dia mengantar ikan ke pasar. “Kalau aku berhenti jadi tengkulak ikan, pasti mereka akan menjual lagi ke tengkulak lama. Mau tidak mau sepertinya Rum.”
Arum menjentikan jemarinya tepat di depan wajah Abas, “Tepat!” Arum duduk dari bale-bale. Menghampiri sekumpulan pria dewasa yang tengah berdebat, kedua kubu belum ada yang mengalah. Kepala Desa yang sedari tadi hanya garuk-garuk kepala bingung harus memihak ke mana, dia tahu betul karakter orang-orang kampung itu, terutama Sardi.
“Permisi.” Arum memberaikan perdebatan yang rumit itu.
“Rum, masuk ke rumah. Kenapa ke sini?” Pak Sardi kurang suka dengan kedatangan Arum, terutama ketika melihat Kepala Desa yang mulai cengengesan melihat kembang desa yang muncul begitu saja.