BIJANA

Siraru
Chapter #23

Dua Puluh Tiga

Bising Ibu Kota tak begitu mengganggunya, lagu “Ingin Pulang – Sheila on 7” mengalun di balik earphone-nya. Dia duduk di sisi jendela, menatap jalanan yang ramai, kerinduannya akan kampung halamannya tak dapat ia hitung jumlahnya. Dia ingin pulang.

Tapi bukan sekarang, ada hal penting yang harus ia selesaikan di kota Jakarta itu. Seiring laju bus kota, lamunannya tak henti tentang seseorang di masa lalu yang tak pernah lekang oleh waktu.

Hingga dia telah sampai di tempat tujuannya...

"Biru,Kapan rencananya kamu pulang ke kampung mu?" Dua orang lelaki dengan rentang usia jauh berbeda tengah menikmati kopi di sebuh kedai kopi modern di kawasan elite Jakarta.

"Sepertinya lusa Om, keluarga saya juga belum tahu saya sudah kembali dari Belanda." Biru melepas senyum bahagianya karena kini dia telah menginjakkan kakinya di tanah air.

Biru baru kembali dari Belanda, dan tak langsung pulang karena dia ada janji temu dengan pak Kris, kenalannya dua tahun lalu di Bandara.

Benar, sejak saat itu komunikasi mereka berjalan dengan baik.

Satu tahun setelah pertemuannya dengan Biru, Kris menutup usahanya di Amsterdam dan lebih memilih fokus di Jakarta.

"Lalu kamu sudah siap menjadi bagian perusahaan saya?"

"Dengan senang hati Pak, justru saya berterima kasih untuk kesempatannya."

"Ya, saya nggak mungkin melewatkan anak berbakat seperti mu." Kris terdiam sesaat, "Lalu kenapa kamu menolak perpanjangan kontrak kerjamu di sana?"

Biru menatap kopi yang telah dingin di cangkirnya. Dia malu menjelaskan alasan kekanakannya, "saya nggak ingin jauh dengam keluarga saya Pak, terutama Ibu saya yang selalu memgkhawatirkan saya. Terkhir saya menelponnya beliau meminta saya pulang." Biru mengenang kala itu pertama kalinya dia menelpon keluarganya setelah satu tahun keberangkatannya,kala itu ibunya memarahinya habis-habisan, karena lama tak memberi kabar, dan menyuruhnya agar tak pergi jauh lagi.

"Nasib anak tunggal memang begitu Ru, saya paham sekali, saya juga punya anak satu-satunya, merasa begitu, persis seperti orang tuamu."

"Ya, saya juga paham itu Om, makanya saya memutuskan pulang."

"Juga karena dia? Hahhaha." Kris tergelak puas.

Biru tersenyum, memalingkan wajahnya menatap rintik hujan dari jendela besar kedai itu.

"Dia sudah jadi milik orang lain Om." Biru menelan getir yang setiap kali harus ia nikmati ketika mengingat setahun lalu ibunya mengatakan bahwa Arum sudah mempunyai calon suami, Gema. Gema orang yang tidak Biru sukai dari dulu.

"Hahhaa, Dokter yang sempat kamu ceritakan dulu?"

"Ya." Jawab Biru, kini dia mengambil cangkir kopinya, menyesapnya.

"Saya prihatin Biru, prihatin sekali. Hahhaha…" Kris kembali tergelak.

Bukan memghibur, Biru malah berpikir bapak-bapak yang mulai terlihat beruban itu sedang mengolok-oloknya.

"Andai saja anak saya perempuan, kamu nggak akan jadi jomblo lama-lama hahahha…"

Biru bersyukur anaknya Kris laki-laki, Biru tidak berharap memiliki mertua seperti Kris.

Lihat selengkapnya