^^KILAS BALIK^^
Arum, Gema, Bu Ima duduk bersama di ruang tamu rumah Bu Ima. Mereka sama-sama menyimpan perasaan masing-masing. Hanya Arum yang merasa bimbang, sementara sisanya merasakan perasaan bahagia tiada tara.
“Ini yang Ibu inginkan selama ini. Ibu bahagia sekali.” Bu Ima membuka obrolan.
Gema melirik Arum yang masih terdiam, meremas ibu jarinya, wajahnya terlihat tegang.
“Rum, Ibu bahagia sekali, karena Ibu sangat menyayangimu. Gema tepat telah memilihmu.” Lanjut Bu Ima menatap Arum.
Arum tersenyum tipis, “Iya Bu. Tapi... sebaiknya untuk sekarang jangan dulu melangkah ke tahap lamaran.” Arum ingin meluruskan kesalahannya tempo hari pada Gema, dia belum ingin dilamar atau pun menikah, bahkan dia juga belum tahu seperti apa perasaannya pada Gema. Dia tidak ingin terjebak lebih jauh oleh kekeliruannya.
“Ya, Ibu setuju. Sebaiknya kalian dekat saja dulu, saling mengenal agar kalian bisa tahu dulu karakter masing-masing.” Bu Ima menarik bantal sofa di sampingnya, kemudian mendekapnya. “Kehidupan berumah tangga itu tidak sesederhana seperti yang dibayangkan muda-mudi yang sedang jatuh cinta.”
“Belajarlah dulu… “ Bu Ima memandang Gema dan Arum bergantian, “Saling mengenal lah dulu. Karena bersama itu butuh kerja sama kedua belah pihak. Tidak boleh hanya satu orang yang lelah – satu orang yang bahagia.” lanjutnya.
Arum dan Gema mendengarkan dengan seksama, memahami setiap petuah dari bu Ima. setelah itu mereka sepakat untuk menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih, meskipun tanpa mereka sadari mereka tidak sedang berkerja sama dengan baik.
^^KILAS BALIK SELESAI^^
***
Arum menuliskan sebuah nama di atas pasir, dan di saat itu juga dia menyadari jika dia tengah menyakiti sebuah hati. “Aku harus mengakhirinya.” perasaannya bergulir begitu lambat, hingga dia merasakan sesak dalam batinnya. Perbincangan-perbincangan dengan dirinya sendiri tidak terlalu banyak membantu. semua kembali pada sebuah keputusan “Berakhir.”
“Hemm… Tuh kan apa aku bilang selama ini, kamu itu nggak cinta sama Dokter itu Rum.”
Arum terkejut, dengan cepat dia mencoret nama itu dengan sebatang ranting yang sebelumnya dia pakai untuk menuliskan nama itu. “Kamu ini bikin kaget saja!” Arum membuang wajah, malu bukan kepalang.
“Nggak salah Rum kamu jujur pada diri sendiri. Jangan terlalu jauh kamu menyakiti orang lain.” Abas meraih ranting dari tangan Arum, lalu menuliskan kembali nama yang Arum coret.
“Tapi hanya dia yang mau jujur sama aku.”