“Kamu nggak cerita kalau itu bukan orang yang selama ini kamu ceritain. Aku malu banget sumpah!” Bintang mencubit lengan Arum, wajah Bintang memerah.
“Hahahaha, Ya aku mau jelasin kalian malah keasyikan ngobrol.” Arum tertawa lalu menggeser gelas teh manis panas yang disuguhkannya untuk Bintang di ruang tamu. Sementara Abas pulang ke rumahnya.
“Pantas aku kok heran, dari seorang Jurnalis kenapa banting stir jadi Tengkulak ikan.” Bintang menepuk keningnya.
“ya kalian, kayaknya langsung klop gitu ngobrol sampai aku saja dilupakan.”
“Orangnya kocak sih Rum, aku jadi kebawa suasana gitu. Aku pikir dia Biru.”
“Hehehe, maaf ya, tapi benar kok dia sahabat aku juga.”
“Tapi kamu nggak pernah cerita tentang dia lho Rum, yang kamu ceritain ya yang namanya Biru itu.”
“Masa sih? emang belum pernah ya?” kegugupan Arum terlihat jelas oleh Bintang, dan ketika itulah Bintang menyadari sesuatu.
“Kamu ada hati ya sama dia?” Tanya Bintang dengan hatihati, matanya menyelidik perubahan sikap Arum sekecil apapun. Benar saja, Bintang melihat dengan jelas perubahan wajah Arum.
“Enggak bukan gitu, hanya saja Biru itu yang paling lama bareng sama aku, sampai lulus kuliah, kalau Abas aku sudah lama ngga sama dia.” warna merah menjalari kulit wajah Arum, dia tertawa gugup.
“Perasaan itu nggak bisa dibohongi Rum. Jangan terlalu memaksakan dirimu sendiri untuk menutupi perasaan kamu.” Bintang menyeruput teh panasnya. “Wangi banget.” Bintang menaruhnya kembali dengan perasaan yang lebih segar.
“Aku sudah punya seseorang Bin.”
“Jujur sama aku Rum, bagaimana perasaan kamu sama Dokter itu?”
Arum terdiam, memejamkan mata, membayangkan Gema, mengingat setiap kebaikan Gema selama ini mencari sebuah celah untuk menjadi alasan bahwa dia mencintai Gema. Nihil. Arum menggeleng.
“karena di hati kamu hanya ada Biru Rum.”
“Tapi aku harus bagaimana sama Kak Gema?”
“kalau kamu nggak bisa meneruskan perjalananmu sama kak Gema, kamu berhak behenti Rum.”
“Tapi aku takut menyakiti dia.” Arum mulai berkaca-kaca.