^KILAS BALIK^
Suasana malam kota Bandung terasa begitu kental dengan latar Gedung Societeit Concordia. Gedung yang memiliki banyak catatan sejarah itu semakin terlihat pamornya saat malam hari. Dengan lampu-lampu yang ditata begitu apik, gedung itu seolah sedang menunjukan kegagahannya pada setiap mata yang memandang. Tidak salah memang jika gedung yang lebih dikenal dengan nama Gedung Merdeka itu bertengger bangga dengan segala catatan sejarah yang dimilikinya.
“Aku nggak pernah membayangkan aku sampai di sini.” Arum tersenyum getir, menahan tangis. Tangis kerinduan dan kekhawatiran. “Aku pasti sudah dicoret dari kartu keluarga.” terdengar napasnya gusar.
“Kamu sudah melakukan yang terbaik Rum.” Biru yang berdiri di sampingnya menatap iba, ada rasa bersalah telah membawa jauh gadis desa ini dari pelukan ibu bapaknya. “Maafin aku ya Rum, sudah bawa kamu sejauh ini.”
“Bukan salah kamu Ru, kan aku yang mau ke sini, tapi aku kangen ibu Ru.” luruh sudah air matanya di balik gelap malam.
“Sudah sudah…wajar kamu merasa begitu.” Biru menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu. “Sudah jangan nangis lagi, nanti bu Ima mikir aneh-aneh lagi.”
Arum menyusut kasar air matanya, “Iya ya. Hah cape juga Ru aku, dari pagi sampai sore kerja, malam kuliah.”
“Maaf ya Rum, aku hanya kerjaan ini yang bisa ku tawarkan sama kamu. Pertimbangannya kamu disediakan tempat tinggal gratis dan makan gratis di bu Ima.”
“Kenapa minta maaf Ru? Aku berterima kasih sekali. Ini lebih dari cukup. Bu Ima baik sekali sama aku. Aku dibolehin kuliah malam juga.” sekali lagi Arum menyeka air matanya.
“Ya aku senang dengarnya. kata Mamangku juga Bu Ima itu baik sekali, karyawan konfeksinya juga kebanyakan tetangga komplek itu.
“Terima kasih sampaikan sama Mamang kamu ya Ru sudah mencarikan aku kerja.”