“Bulao?” mata Abas menatap Biru dari atas sampai bawah, tak ada yang terlewat. “Ini teh bener kamu?” Abas mengguncang bahu Biru.
“Iya Bas.” Biru memutar matanya, kesal, karena Abas masih saja seperti dulu memanggilnya Bulao.
“Pangling aku. Kamu tambah kekar Bul.”
“Kita sudah besar kali Bas, tetep aja manggil Bulao.” Arum menghampiri kedua sahabatnya dengan membawa senampan minuman dan makanan.
“Aih nyonya Bulao marah! Hahahaha.”
Arum mendelik kesal, “Apa sih Bas?”
“Kamu apa kabar Bas? aku dengar kamu kena PHK?” Tanya Biru.
“Ssstt!!! jangan keras-keras, nanti orang dengar! Aih nggak kamu nggak si Arum, sama saja kalau bicara tuh nggak ada adatnya.”
Arum mencibir, “Sekampung kan sudah pada tahu kamu pengangguran karena PHK.”
“Iya! Iya! tapi kan sekarang aku?” Abas mengedikkan bahunya.
“Sombong! mentang-mentang sudah jadi tengkulak ikan.” Arum duduk di samping Abas.
“Hehehe, iya kan berkat kamu Rum.” Abas terkekeh, “Kalau nggak ingat dia, aku sudah lamar kamu Rum.” Abas menunjuk Biru yang duduk di hadapannya.
“Awas aja kalau kamu berani Bas!” Biru mengacungkan tinjunya.
“Iya enggak lah! mana mungkin…”
“Apa? mau bilang aku singa lagi?” Arum melotot.
Abas menelan ludah, “Enggak! Aku mau bilang mana mungkin kan Arum sudah punya calon suami, Orang Kota! Dokter!” Kembali Abas menirukan gaya pak Sardi. Arum mencubit pinggang Abas.
Biru tergelak melihat tingkah Arum dan Abas, tidak ada cemburu di hatinya. Dia tahu sekali dua sahabat itu tak pernah saling menyimpan perasaan. Hanya ada yang menyentak hatinya ketika Abas mengatakan calon suami Arum, orang kota dan Dokter.
“Bas, kalau permintaan pasar semakin banyak, aku saranin kamu ambil mobil deh.” Kata Arum setelah tawa mereka mereda.
“Ambil mobil gimana?” Abas urung menyuapkan kue ali agrem ke mulutnya.
“Nyicil. Tapi kamu harus belajar nyetir dulu tuh sama Biru.”
“Aku belajar nyetir?” Abas menunjuk hidungnya sendiri.
“Iyalah! mau jalan gimana tuh mobil.” Arum asyik menyantap kacang rebus.