BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #1

PROLOG

"Untuk mengetahui jalannya persidangan vonis, kita akan pantau secara langsung bersama reporter kami, Sindi Nindiya yang sudah siap di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat."

Layar televisi yang sebelumnya hanya menampilkan penyiar di studio, sekarang turut menampakkan seorang reporter yang sudah siap memberikan laporan di lapangan.

"Ya, selamat siang Sindi Nindiya. Bagaimana jalannya persidangan? Apakah vonis sudah dibacakan?"

"Selamat siang Tania dan juga Pemirsa. Setelah menjalani rangkaian persidangan terkait kasus 2 Oktober 2021 kemarin, hari ini, para terdakwa akan mendengarkan vonis atau pun putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat."

"Dan kini, di dalam ruang sidang, persidangan sudah dimulai. Hakim Ketua sedang menyampaikan isi putusannya terhadap para terdakwa."

Banyak kamera menyoroti setiap adegan yang terjadi di dalam ruang sidang. Cahaya kamera yang bersinar terang saat menangkap gambar dari berbagai arah, begitu membabi buta. Tak ingin kehilangan momen fenomenal yang membuat geger negara.

Sidang dibuka untuk umum. Tak sedikit pengunjung yang ingin mengikuti persidangan secara langsung.

Nona menunduk ketika salah satu kamera mulai mengarah ke posisi duduk keluarganya. Dia tak nyaman. Di sampingnya, Calvin terus menatap punggung para terdakwa yang duduk di tengah persidangan dengan begitu tajam. Rahang pemuda itu mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Menahan gejolak amarah yang nyaris tak bisa dikendalikan.

Suara helaan napas dari berbagai sumber terdengar tegang. Penasaran dengan vonis yang akan dijatuhkan kepada masing-masing terdakwa.

"Dua, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana...."

***

Bandung, 26 Oktober 2021 (Enam puluh sembilan hari sebelum persidangan)

"Minggir-minggir-minggir!" Radit datang dengan ¹blingsatan. Menerobos kerumunan yang masih betah menyusuri daftar nilai ulangan Matematika, yang terpampang di papan mading kelas 11-1 itu. ¹Gelisah/Khawatir.

Setelah mendapat kabar bahwa dirinya berada di posisi kedua, Radit yang sedang nikmatnya memakan sandwich di kantin lekas beranjak untuk memeriksanya. Ia meninggalkan sandwich yang tersisa setengahnya lagi, begitu saja. Sebelumnya, Radit tak pernah memeriksa hasil ulangan karena dia sudah percaya diri dan yakin, kalau dirinya akan selalu berada di posisi teratas. Peraih nilai tertinggi.

Sesampainya tepat di depan mading, laki-laki berkacamata itu dibuat bergeming. Kedua tangannya perlahan mengepal dengan kuat, menandakan dirinya tak terima dengan apa yang telah dia lihat sekarang. Tanpa meminta izin dari siapa pun, Radit mencopot kertas hasil ulangan dari mading dengan kasar. Dirobeknya kertas itu menjadi beberapa bagian dengan kasar pula, lalu membuangnya tepat di depan kakinya. Layaknya sampah. Tak berhenti di situ, dia kemudian menginjak-injaknya sebagai penutupan. Naas.

Radit berbalik dan matanya menatap ke arah Nona dengan tajam. Dadanya terlihat naik turun, merasakan semua amarah yang sedang menggebu di dalam dirinya.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, tapi semua yang menyaksikan itu tahu, bahwa Radit sedang sangat marah sekarang. Tanpa pamit, dia beranjak meninggalkan kerumunan. Siswa itu terlihat menendang pintu sebelum memasuki kelas. Menyentak semua orang secara tidak langsung.

"Marah kan dia," ucap Nabila. Volume suaranya nyaris tak bisa didengar.

Nona melipat bibirnya. Dia tidak mengira jika Radit akan semarah itu karena nilai yang diperolehnya.

Lihat selengkapnya